Defisit APBN Februari 2025 Sentuh Rp 31,2 Triliun, DPR Soroti Kendala Sistem Coretax

Defisit APBN Februari 2025 Sentuh Rp 31,2 Triliun, DPR Soroti Kendala Sistem Coretax

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp 31,2 triliun pada Februari 2025. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, meyakini bahwa defisit APBN 2025 akan tetap terkendali pada angka 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, ia menyoroti adanya permasalahan pada sistem teknologi informasi (TI) layanan perpajakan, yang dikenal sebagai Coretax, sebagai salah satu faktor yang memengaruhi penerimaan negara.

Misbakhun menjelaskan bahwa target penerimaan pajak pada awal tahun 2025 terpengaruh oleh kendala teknis yang dialami Coretax. Ia mengajak para pelaku pasar untuk mencermati secara detail permasalahan defisit APBN 2025.

"Soal pendapatan negara yang mengalami defisit dibandingkan penerimaan, ini harus kita baca secara detail," kata Misbakhun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengumumkan bahwa defisit APBN 2025 hingga Februari mencapai Rp 31,2 triliun. Pendapatan negara tercatat sebesar Rp 316,9 triliun, sementara belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun.

Menurut Misbakhun, sistem Coretax yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebenarnya merupakan ide yang baik. Namun, sejak diimplementasikan pada 1 Januari 2025, sistem tersebut belum berfungsi secara optimal.

"Terdapat permasalahan teknis di lapangan sehingga mengganggu data penerimaan pajak kita, mengganggu akses pembayaran pajak," ungkap Misbakhun.

Ia membandingkan penerimaan pajak dengan penerimaan negara dari bea dan cukai. Misbakhun mencatat bahwa penerimaan kepabeanan dan cukai pada Februari 2025 justru mengalami peningkatan.

"Karena penerimaan bea dan cukai naik, sebenarnya tidak sewajarnya penerimaan pajaknya turun. Kalau penerimaan bea dan cukai naik, sewajarnya (penerimaan) pajak juga naik," ujarnya.

Oleh karena itu, Misbakhun meyakini bahwa penurunan penerimaan negara dari pajak bukan disebabkan oleh perlambatan ekonomi, melainkan oleh masalah teknis pada sistem Coretax.

"Kalau penerimaan pajaknya turun, berarti ada problem teknis di Coretax," tegasnya.

Meski demikian, Misbakhun tetap optimistis bahwa angka penerimaan pajak akan meningkat pada Maret dan April seiring dengan masuknya laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dari wajib pajak pribadi maupun korporasi ke DJP. Selain itu, masih ada potensi penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 yang akan masuk pada bulan-bulan berikutnya.

Misbakhun mengimbau para pelaku pasar modal di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk tidak khawatir secara berlebihan, apalagi terpicu oleh rumor yang dapat menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot. Ia menegaskan bahwa DPR akan terus mengawasi agar defisit APBN 2025 tetap terjaga pada angka 2,53 persen dari PDB.

"Melihat data moneter dan perbankan, dalam fiskal yang ada, sebenarnya optimisme itu pantas kita jaga," pungkasnya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Defisit APBN 2025:

  • Kendala Teknis Coretax: Sistem Coretax yang belum berfungsi optimal menyebabkan gangguan pada data penerimaan pajak dan akses pembayaran pajak.
  • Peningkatan Penerimaan Bea dan Cukai: Kenaikan penerimaan bea dan cukai seharusnya diiringi dengan peningkatan penerimaan pajak.
  • Potensi Penerimaan Pajak Maret-April: Masuknya laporan SPT Tahunan dan PPh Pasal 25 diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak.

Dampak Defisit APBN:

  • Kekhawatiran Pelaku Pasar: Defisit APBN dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar modal dan berpotensi memengaruhi IHSG.
  • Pengawasan DPR: DPR akan terus mengawasi defisit APBN agar tetap terkendali pada angka yang telah ditetapkan.