RUU TNI: Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi dan Erosi Reformasi Sektor Keamanan
Sorotan Tajam terhadap Revisi UU TNI: Ancaman Bagi Reformasi Militer?
Jakarta - Gelombang kritik keras menghantam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tengah digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kalangan pengamat, aktivis, dan masyarakat sipil mengkhawatirkan RUU ini akan menjadi langkah mundur bagi reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak era pasca-Soeharto. Isu sentral yang menjadi sorotan adalah potensi kembalinya praktik dwifungsi ABRI, sebuah konsep yang memberikan peran ganda kepada militer, baik dalam pertahanan negara maupun dalam bidang sosial-politik.
Mengapa RUU TNI Menuai Kontroversi?
Beberapa poin krusial dalam RUU TNI memicu perdebatan sengit:
- Perluasan Kewenangan Operasi Militer Selain Perang (OMSP): RUU ini memberikan definisi yang sangat luas terhadap OMSP, membuka peluang bagi TNI untuk terlibat dalam berbagai urusan sipil yang seharusnya menjadi ranah kepolisian atau lembaga pemerintah lainnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan tumpang tindih kewenangan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
- Perpanjangan Usia Pensiun: Usulan perpanjangan usia pensiun bagi prajurit TNI, terutama perwira tinggi, dikhawatirkan akan menghambat regenerasi dan promosi di tubuh militer. Selain itu, hal ini juga dapat menimbulkan ketidakadilan bagi generasi muda yang ingin berkarier di TNI.
- Penempatan Personel TNI di Kementerian/Lembaga: RUU ini memperluas cakupan penempatan personel TNI di berbagai kementerian dan lembaga negara. Kritik menyebutkan bahwa hal ini dapat mengganggu profesionalisme TNI dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Kekhawatiran akan Kembalinya Dwifungsi ABRI
Praktik dwifungsi ABRI pada masa lalu telah menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti:
- Represi Politik: Militer digunakan untuk menekan oposisi dan membungkam kritik terhadap pemerintah.
- Korupsi dan Kolusi: Keterlibatan militer dalam bisnis dan politik membuka celah bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
- Pelanggaran HAM: Militer terlibat dalam berbagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, dan pembunuhan.
Masyarakat sipil khawatir bahwa RUU TNI akan membuka pintu bagi kembalinya praktik-praktik tersebut. Mereka mendesak DPR untuk lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan RUU ini.
Dampak Terhadap Reformasi Sektor Keamanan
Reformasi sektor keamanan merupakan agenda penting dalam transisi demokrasi Indonesia. Reformasi ini bertujuan untuk:
- Memperkuat Supremasi Sipil: Menempatkan militer di bawah kendali sipil yang demokratis.
- Meningkatkan Profesionalisme TNI: Memfokuskan TNI pada tugas pokoknya sebagai penjaga kedaulatan negara.
- Menegakkan Akuntabilitas: Memastikan bahwa TNI bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya.
RUU TNI, jika disahkan dalam bentuknya saat ini, dikhawatirkan akan mengancam pencapaian-pencapaian reformasi sektor keamanan yang telah diraih selama ini. Hal ini dapat merusak citra TNI dan kepercayaan publik terhadap institusi militer.
Perlunya Pengawasan dan Partisipasi Publik
Proses penyusunan RUU TNI harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil, akademisi, dan pengamat militer. DPR perlu mempertimbangkan dengan cermat semua masukan dan kritik yang disampaikan oleh berbagai pihak sebelum mengambil keputusan akhir. Masa depan reformasi sektor keamanan di Indonesia bergantung pada kebijaksanaan dan keberpihakan para wakil rakyat.
Saat ini, RUU TNI masih dalam tahap pembahasan di DPR. Publik terus memantau perkembangan RUU ini dan berharap agar DPR dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Diskusi publik yang luas dan mendalam sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa RUU TNI benar-benar sejalan dengan semangat reformasi dan supremasi sipil.