Regulasi Ulasan Produk Influencer: Mencari Keseimbangan antara Kebebasan Berpendapat dan Perlindungan Konsumen

Regulasi Ulasan Produk Influencer: Mencari Keseimbangan antara Kebebasan Berpendapat dan Perlindungan Konsumen

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah berupaya merumuskan regulasi baru terkait ulasan produk oleh para influencer, khususnya di sektor makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan. Dorongan ini muncul sebagai respons atas keresahan publik terhadap potensi penyalahgunaan dan dampak negatif dari ulasan tersebut terhadap konsumen dan pelaku usaha. Anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam, secara khusus menyoroti maraknya praktik 'pemerasan' oleh beberapa influencer yang memanfaatkan pengaruhnya untuk mendapatkan keuntungan finansial setelah memberikan ulasan, bahkan jika ulasan tersebut bernada negatif dan tidak berdasar.

Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah dugaan pemerasan yang dilakukan influencer 'Code Blue' terhadap pemilik usaha makanan senilai ratusan juta rupiah. Kasus ini menjadi pemantik perlunya regulasi yang lebih tegas untuk melindungi baik konsumen maupun pelaku usaha dari praktik-praktik yang merugikan tersebut. BPOM, sebagai lembaga yang berwenang mengawasi keamanan dan informasi produk, menyatakan sedang menyusun draf regulasi yang bertujuan untuk memastikan keakuratan informasi dan mencegah konflik kepentingan. Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menekankan pentingnya aturan main yang jelas, yang mengakomodasi kebebasan berpendapat sekaligus melindungi hak-hak konsumen dan produsen.

Proses penyusunan draf regulasi ini melibatkan berbagai kementerian terkait, termasuk Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, Bea Cukai, dan Kementerian Komunikasi dan Digital. BPOM juga berencana untuk melibatkan para influencer dalam proses ini agar aturan yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak. Taruna Ikrar menegaskan bahwa BPOM memiliki wewenang untuk memverifikasi informasi yang disampaikan influencer terkait produk yang mereka ulas. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan akurat dan tidak menyesatkan konsumen.

Sementara itu, pengusaha dan kreator konten, Ci Mehong, menyampaikan keresahannya terhadap dampak negatif dari ulasan influencer terhadap usaha kecil dan menengah (UKM). Ia mencontohkan kasus bika ambon miliknya yang sempat menjadi sorotan setelah direview oleh influencer lain. Ci Mehong menekankan pentingnya tanggung jawab para influencer dalam memberikan ulasan, mengingat satu ulasan negatif saja dapat berdampak fatal bagi kelangsungan usaha kecil. Ia bahkan sampai melarang pengunjung yang membawa kamera untuk merekam di tempat usahanya untuk meminimalisir potensi kerugian akibat review yang negatif dan tidak objektif.

Regulasi yang akan dibentuk diharapkan mampu menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi para influencer dengan perlindungan bagi konsumen dan pelaku usaha. Tantangannya terletak pada bagaimana merumuskan aturan yang jelas, terukur, dan efektif dalam mencegah penyalahgunaan dan memastikan keakuratan informasi yang disampaikan. Semoga dengan adanya regulasi ini, ekosistem konten kreator dan bisnis di Indonesia dapat berkembang dengan lebih sehat dan berkelanjutan. Perlindungan konsumen dan pelaku usaha harus menjadi prioritas utama dalam penyusunan dan implementasi regulasi ini.

Poin-poin penting yang perlu diperhatikan dalam regulasi ini:

  • Mekanisme verifikasi informasi yang disampaikan oleh influencer.
  • Sanksi yang jelas dan tegas bagi influencer yang melakukan pelanggaran.
  • Perlindungan bagi pelaku usaha kecil dan menengah dari dampak negatif ulasan.
  • Jaminan transparansi dalam proses penyusunan dan implementasi regulasi.
  • Kerjasama antar kementerian dan lembaga terkait dalam pengawasan dan penegakan aturan.