Efektivitas Pemberantasan Korupsi: Menyeimbangkan Kemauan Politik dan Profesionalisme Lembaga Penegak Hukum

Pemberantasan Korupsi: Antara Kemauan Politik dan Profesionalisme

Pemberantasan korupsi yang efektif memerlukan kombinasi antara kemauan politik yang kuat dari pemimpin negara dan profesionalisme lembaga penegak hukum. Belajar dari negara-negara dengan indeks persepsi korupsi (IPK) tinggi seperti Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru, kepatuhan warga terhadap hukum tanpa bergantung pada sosok pemimpin menjadi kunci keberhasilan. Kondisi ini kontras dengan negara-negara ber-IPK rendah, di mana perilaku koruptif dipengaruhi oleh political will pemimpin dan profesionalisme penegak hukum.

Dilema Political Will dan Profesionalisme

Tanpa political will, lembaga penegak hukum bisa lumpuh, terutama jika kasus yang diusut bersinggungan dengan kepentingan penguasa. Namun, political will tanpa lembaga penegak hukum yang profesional hanya akan menjadi janji kosong. Profesionalisme dibutuhkan untuk mencegah penegakan hukum diamputasi oleh individu korup di dalam lembaga itu sendiri.

Komitmen pemimpin harus diterjemahkan ke dalam kebijakan profesionalisasi lembaga penegak hukum. Komitmen politik pemimpin bersifat relatif dan perlu diimbangi dengan lembaga penegak hukum yang profesional dan proporsional.

Belajar dari Kasus China

Contohnya, di China, meskipun Xi Jinping memiliki rekam jejak antikorupsi yang kuat, kebijakannya pada akhirnya digunakan untuk menyingkirkan lawan politik. Kebijakan anti korupsi yang masif, meskipun berhasil menghukum ratusan ribu koruptor, juga digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, mengeliminasi lawan politik dan menempatkan orang-orangnya di semua lini pemerintahan.

Hal ini terjadi karena lembaga pemerintahan, termasuk penegak hukum, merupakan bagian dari mesin partai. Komitmen antikorupsi pemimpin di China menjelma menjadi kebijakan yang mendukung kepentingan politiknya. Situasi serupa terjadi di negara-negara kurang demokratis seperti Singapura dan Malaysia, di mana lawan politik penguasa menjadi sasaran empuk kebijakan antikorupsi.

Indonesia: Tantangan dan Harapan

Di Indonesia, lemahnya komitmen antikorupsi dan profesionalisme penegak hukum mempersulit pemberantasan korupsi. Komitmen antikorupsi Presiden Prabowo Subianto, misalnya, berpotensi diterjemahkan secara politis oleh penegak hukum jika profesionalisme mereka rendah. Kasus vonis Harvey Moeis menjadi contoh bagaimana keluhan presiden dapat memengaruhi tindakan Kejaksaan Agung, memunculkan asumsi adanya intervensi.

Asas Proporsionalitas dalam Penegakan Hukum

Selain komitmen politik dan profesionalisme, asas proporsionalitas penting untuk memastikan penegakan hukum independen dan tidak menjadi alat politik penguasa. Komitmen antikorupsi harus berlaku umum, bahkan terhadap pendukung penguasa dan pejabat dari partainya sendiri.

Contohnya, di Amerika Serikat, anak presiden yang sedang menjabat pun bisa dipenjara karena kasus korupsi. Selama kasus korupsi yang ditangani penegak hukum di Indonesia belum menyentuh pihak-pihak yang dekat dengan penguasa, komitmen penguasa dan profesionalisme penegak hukum akan terus dipertanyakan.

Mampukah komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan Prabowo berjalan secara adil, independen, profesional, dan proporsional? Ini adalah pertanyaan yang membutuhkan pembuktian nyata dan konsisten.

  • Kunci Pemberantasan Korupsi yang Efektif:
    • Kemauan politik yang kuat dari pemimpin.
    • Profesionalisme lembaga penegak hukum.
    • Asas proporsionalitas dalam penegakan hukum.