Revisi UU TNI Picu Kontroversi: Masyarakat Sipil Pertanyakan Komitmen Supremasi Sipil
Revisi UU TNI Picu Kontroversi: Masyarakat Sipil Pertanyakan Komitmen Supremasi Sipil
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis, 20 Maret 2025, menuai reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Meskipun Ketua DPR mengklaim bahwa revisi ini selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, hukum nasional, dan hukum internasional, proses legislasi yang tergesa-gesa dan kurangnya partisipasi publik memicu kekhawatiran mendalam. Bayang-bayang pengalaman kelam di bawah rezim militer Orde Baru kembali menghantui, terutama terkait potensi tergerusnya supremasi sipil.
Kritik utama terhadap revisi UU TNI ini terfokus pada tiga aspek krusial:
- Proses Pembuatan Hukum yang Abusif (Abusive Law Making): Proses revisi UU TNI dinilai mengabaikan partisipasi publik dan masyarakat sipil. Penyusunan dan pembahasan oleh Komisi I DPR dilakukan secara tertutup dan terkesan terburu-buru, bahkan di tengah isu efisiensi anggaran yang digaungkan oleh pemerintah. Praktik pembuatan hukum yang abusif semacam ini berpotensi memicu gejolak sosial dan hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
- Autokratisme Legal (Autocratic Legalism): Pengesahan UU TNI yang terkesan dipaksakan, dengan mengabaikan partisipasi masyarakat, memunculkan indikasi kuat adanya praktik autokratisme legal. Hukum seolah digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan, mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
- Reduksi Supremasi Sipil: Kurangnya partisipasi publik yang bermakna dan evaluasi yang komprehensif terhadap UU TNI berisiko mengembalikan praktik-praktik yang bertentangan dengan asas pemerintahan yang demokratis. Kekhawatiran ini semakin diperkuat dengan adanya indikasi penempatan personel militer di jabatan-jabatan sipil, yang dapat mengancam keseimbangan kekuasaan antara militer dan sipil.
Proses Legislasi yang Bermasalah
Proses pembentukan RUU TNI hingga disahkan menjadi UU dilakukan dalam situasi yang sulit dan krisis, dengan minimnya partisipasi masyarakat sipil. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menekankan pentingnya partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan undang-undang. Tanpa partisipasi yang memadai, pembentukan undang-undang dapat dianggap melanggar prinsip kedaulatan rakyat dan menegasikan prinsip negara hukum yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Partisipasi publik merupakan elemen krusial dalam pembentukan hukum. Proses yang terbuka dan partisipatif akan menghasilkan regulasi yang lebih legitimate dan akuntabel. Sebaliknya, proses yang tertutup dan eksklusif akan memicu resistensi dan hilangnya kepercayaan publik.
Potensi Pelanggengan Kekuasaan dan Klienisme Politik
Revisi UU TNI juga memunculkan spekulasi mengenai adanya agenda pelanggengan kekuasaan. Penataan birokrasi yang mengedepankan kepemimpinan militer, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, menjadi salah satu kekhawatiran utama. Selain itu, pengesahan RUU TNI ini juga dinilai mengabaikan makna dan kebutuhan konstitusional yang mengatur kedaulatan rakyat.
Muncul pula dugaan adanya praktik political clientelism, di mana militer dijanjikan imbalan berupa revisi UU TNI sebagai kompensasi atas dukungan politik dalam pemilu. Indikasi ini semakin kuat dengan proses legislasi yang tergesa-gesa dan kurang transparan, menimbulkan pertanyaan di benak publik mengenai motif di balik pengesahan UU TNI ini.
Melemahnya Peran Oposisi dan Parlemen
Salah satu indikator adanya praktik autokratisme legal dalam proses legislasi UU TNI adalah melemahnya peran DPR. Bahkan, partai politik yang tidak tergabung dalam koalisi pemerintah pun turut mendukung pengesahan UU ini. Hal ini mencerminkan nihilnya kekuatan oposisi, tidak menguatnya daya kritis parlemen, serta melumpuhkan gagasan tentang keseimbangan kekuasaan yang sangat penting dalam negara hukum yang demokratis.
Masyarakat sipil terus mengawasi dan mengkritisi implementasi UU TNI ini, serta mendesak pemerintah dan DPR untuk menjamin supremasi sipil dan menghormati prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap kebijakan dan tindakan yang diambil.