Revisi UU TNI Picu Kontroversi: Pengamat Ungkap Potensi Kontrol Digital dan Kembalinya Dominasi Militer

Revisi UU TNI: Ancaman Demokrasi dan Kebangkitan Militerisme?

Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai gelombang kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama terkait potensi pembatasan kebebasan sipil dan kembalinya pengaruh militer dalam ranah sipil. Herdiansyah Hamzah, seorang pengamat hukum dari Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, secara vokal menyuarakan kekhawatirannya mengenai dampak revisi UU ini terhadap demokrasi Indonesia.

Menurut Herdiansyah, revisi UU TNI membuka celah bagi militer untuk melakukan pengawasan dan kontrol yang berlebihan terhadap ruang digital masyarakat. Penambahan kewenangan TNI dalam operasi militer selain perang, khususnya di sektor siber, dinilai sebagai ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi dan privasi warga negara.

"Ada kekhawatiran yang sangat besar bahwa ruang digital kita akan berada di bawah kendali dan pengawasan kekuasaan," ujar Herdiansyah. "Ini jelas membatasi kebebasan kita di ruang digital dan menciptakan preseden yang sangat berbahaya bagi demokrasi."

Pasal Kontroversial dan Proses Pembahasan Tertutup

Selain isu kontrol digital, Herdiansyah juga menyoroti ketentuan yang memungkinkan perwira aktif TNI untuk mengisi jabatan sipil. Ketentuan ini dianggap sebagai langkah mundur dari semangat reformasi pasca-Orde Baru, yang bertujuan untuk memisahkan militer dari ranah politik dan pemerintahan sipil.

"Sejak awal, kita sudah melihat bahwa revisi ini dirancang untuk memberikan karpet merah bagi militer untuk kembali memasuki ruang sipil dan politik," tegasnya. "Ini mencerminkan kebangkitan kembali dominasi militer, mirip dengan era Orde Baru, dan ini sangat mengkhawatirkan."

Proses pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup juga menjadi sorotan tajam. Herdiansyah menilai bahwa kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi ini menimbulkan kecurigaan dan meragukan legitimasi hasil revisi.

"Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan partisipasi publik jika pembahasannya dilakukan secara tertutup?" tanya Herdiansyah. "Sesuatu yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi biasanya menyembunyikan sesuatu, dan saya menduga ini adalah upaya untuk membuka kembali pintu bagi militer untuk masuk lebih jauh ke dalam politik sipil."

Opsi Perlawanan: MK atau Aksi Massa

Menyusul pengesahan revisi UU TNI, Herdiansyah mengemukakan dua opsi perlawanan yang dapat ditempuh oleh masyarakat sipil:

  • Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK): Mengajukan permohonan judicial review ke MK untuk menguji konstitusionalitas pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam revisi UU TNI.
  • Aksi Massa: Melakukan demonstrasi dan aksi protes untuk menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI dan menuntut pembatalan pasal-pasal yang dianggap mengancam demokrasi.

"Meskipun MK seringkali menjadi 'tempat sampah' bagi produk hukum bermasalah dari DPR dan pemerintah, namun tetap menjadi salah satu alternatif," kata Herdiansyah. "Namun, jika semua saluran demokrasi ditutup, maka satu-satunya pilihan yang tersisa adalah turun ke jalan. Itu adalah hak warga negara yang dilindungi oleh undang-undang."

Refleksi atas Arah Demokrasi Indonesia

Herdiansyah menyimpulkan bahwa revisi UU TNI merupakan indikasi kembalinya gaya pemerintahan otoriter ala Orde Baru. Ia menekankan bahwa isu ini bukan hanya tentang satu undang-undang, tetapi tentang arah demokrasi Indonesia ke depan.

"Kita sudah melihat tanda-tanda ini," ujarnya. "Revisi UU ini dapat menjadi legitimasi bagi kembalinya gaya pemerintahan Orde Baru. Ini bukan hanya tentang satu undang-undang, tetapi tentang arah demokrasi kita ke depan."