Meneguhkan Etika Kepemimpinan: Urgensi Tadarus Etik Bagi Penguasa

Krisis Keteladanan: Urgensi Tadarus Etik Bagi Penguasa

Dalam pusaran sejarah peradaban, agama seringkali menjadi kompas moral di tengah krisis kemanusiaan. Nilai-nilai agama, termasuk etika, menjadi inspirasi dalam menemukan solusi bagi permasalahan bangsa dan negara. Albert Einstein pun mengakui kekuatan agama sebagai pendorong moralitas manusia.

Momentum Ramadan, dengan anjuran tadarus Al-Qur'an, seharusnya menjadi wahana refleksi bagi seluruh umat Muslim, tak terkecuali para penguasa. Tadarus, yang secara etimologis berarti mempelajari, meneliti, dan mengambil pelajaran, menjadi sarana mendekatkan diri pada sumber etik utama, yaitu Al-Qur'an. Puasa Ramadan idealnya memanifestasikan keteladanan etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti keadilan, kasih sayang, toleransi, dan sikap moderat.

Sayangnya, keteladanan ini kian menipis di kalangan penguasa. Kontradiksi mencolok antara retorika efisiensi dan praktik pemborosan, antara pemberantasan korupsi dan bancakan kekayaan negara, mengindikasikan krisis integritas yang mendalam. Indonesia seolah berada dalam kegelapan etik.

Mengapa Tadarus Etik Bagi Penguasa Mendesak?

Setidaknya ada tiga realitas empirik yang melatarbelakangi urgensi tadarus etik bagi para penguasa:

  1. Rendahnya Integritas: Pertimbangan etik diabaikan dalam pengambilan kebijakan.
  2. Hilangnya Rasa Malu: Praktik korupsi dinormalisasi, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kekuasaan.
  3. Apatisme Terhadap Aspirasi Publik: Rakyat dianggap sebagai objek kekuasaan, bukan subjek yang berhak didengar suaranya.

Realitas ini mengindikasikan bahwa etika politik tak lagi menjadi kompas dalam mengelola negara. Kondisi ini mengingatkan kita pada era Niccolo Machiavelli, di mana kekuasaan dijalankan secara brutal, rakus, dan menghalalkan segala cara.

Franz Magnis-Suseno mengingatkan bahwa etika adalah asas moral yang disepakati bersama dan dijalankan dalam proses kekuasaan. Keputusan harus dibuat untuk kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan kelompok atau keluarga tertentu.

Tadarus etik adalah jalan kontemplasi untuk menohok hati penguasa agar kembali menjadi manusia etik, manusia takwa, yang takut berbuat jahat kepada rakyatnya. Manusia yang humanis, peduli lingkungan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat banyak.

Ciri Manusia Etik dalam Kepemimpinan:

  • Adil: Tidak pandang bulu dalam penegakan hukum.
  • Humanis: Penuh kasih sayang kepada rakyat.
  • Peduli Lingkungan: Menjaga kelestarian alam.
  • Konsisten: Sama antara kata dan perbuatan.
  • Berorientasi pada Rakyat: Mengutamakan kepentingan rakyat banyak.

Mampukah para penguasa di republik ini menjadi manusia etik? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, jika keteladanan etik tak kunjung hadir, maka nasib bangsa ini akan semakin terpuruk.