Polemik Usulan KPK: Narapidana Korupsi Tanpa Ransum, Antara Efek Jera dan Pelanggaran HAM

Kontroversi Usulan Pimpinan KPK: Koruptor Harus Bertani untuk Bertahan Hidup

Usulan kontroversial datang dari Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, yang menyatakan bahwa narapidana korupsi sebaiknya tidak lagi mendapatkan jatah makanan dari negara. Alih-alih, mereka diusulkan untuk bercocok tanam dan menghasilkan makanan sendiri di penjara terpencil. Gagasan ini langsung memicu perdebatan sengit di kalangan pegiat antikorupsi dan ahli hukum.

Tanak berpendapat bahwa hukuman penjara saja tidak cukup untuk memberikan efek jera kepada para koruptor. Ia mengusulkan agar para koruptor ditempatkan di penjara terpencil, idealnya di pulau terluar seperti sekitar Pulau Buru, dan dipaksa untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. "Pemerintah tidak perlu menyediakan makanan untuk mereka, cukup sediakan alat pertanian, supaya mereka berkebun, bercocok tanam di ladang atau di sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri yang berasal dari hasil keringat mereka sendiri," tegas Tanak.

Reaksi MAKI: Ungkapan Emosi yang Tidak Realistis

Menanggapi usulan tersebut, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai bahwa pernyataan Tanak hanyalah ungkapan emosi sesaat. Menurutnya, usulan tersebut tidak realistis dan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).

"Boleh dipenjara paling terpencil dengan keamanan maksimum, tapi ya tetap harus dikasih makan, nanti melanggar HAM. Mungkin itu ungkapan kemarahan, kejengkelan terhadap koruptor, 'jangan dikasih makan!' itu gapapa," kata Boyamin kepada wartawan.

Boyamin menambahkan bahwa meskipun ia memahami kekesalan publik terhadap koruptor, negara tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar narapidana, termasuk makanan. Ia justru mengusulkan agar KPK lebih fokus pada penuntutan hukuman mati bagi koruptor dalam kasus-kasus tertentu.

"Saya kira itu ungkapan kejengkelan, tapi kalau dipraktikkan nggak bisa karena itu melanggar HAM. Ya sudah dihukum mati aja, toh korupsi ada hukuman mati kalau dalam keadaan bencana, kalau seumur hidup ya harus dikasih makan, nanti kalau tidak malah dianggap kejam kita," ujarnya.

Konsep Penjara Terpencil untuk Koruptor: Dukungan dari Presiden Prabowo

Wacana penempatan koruptor di penjara terpencil sebenarnya bukan hal baru. Presiden terpilih Prabowo Subianto sebelumnya juga telah menyampaikan rencana untuk membangun penjara khusus koruptor di pulau-pulau terluar Indonesia. Usulan ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Johanis Tanak sendiri.

Tanak menilai bahwa penjara terpencil akan memberikan efek jera yang lebih besar bagi para koruptor dan memutus rantai komunikasi mereka dengan dunia luar. Namun, usulan untuk tidak memberikan makanan kepada narapidana korupsi menjadi isu yang berbeda dan memicu perdebatan tentang batasan hukuman dan pemenuhan hak asasi manusia.

Dilema Antara Efek Jera dan HAM

Perdebatan mengenai usulan pimpinan KPK ini menyoroti dilema klasik dalam sistem peradilan pidana, yaitu antara memberikan efek jera yang maksimal kepada pelaku kejahatan dan menjamin pemenuhan hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Sementara banyak pihak setuju bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merugikan negara dan masyarakat, pertanyaan tentang hukuman yang pantas dan cara pelaksanaannya tetap menjadi isu yang kompleks dan membutuhkan pertimbangan yang matang.