Aksi Penolakan RUU TNI di Semarang Berujung Ricuh: Polisi Tembakkan Gas Air Mata, Mahasiswa Ditangkap
Aksi Unjuk Rasa RUU TNI di Semarang Memanas, Bentrokan Tak Terhindarkan
Aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, pada hari Kamis (20/3/2025), berubah menjadi kericuhan. Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Semarang Menggugat terlibat bentrok dengan aparat kepolisian yang berusaha membubarkan aksi tersebut.
Kronologi Bentrokan
Menurut laporan di lapangan, ketegangan bermula ketika massa aksi mencoba untuk memasuki gedung DPRD Jawa Tengah. Namun, upaya mereka dihadang oleh barikade polisi. Aksi saling dorong tak terhindarkan, dan situasi semakin memanas ketika polisi menembakkan gas air mata ke arah demonstran. Korlap aksi, Aufa Atthariq, yang juga merupakan Ketua BEM Universitas Diponegoro (Undip), mengecam tindakan represif aparat. Ia menyatakan bahwa aksi damai mereka untuk menyampaikan aspirasi melalui "sidang rakyat" di dalam gedung DPRD justru berujung pada pemukulan, penarikan, dan penangkapan. Beberapa demonstran dilaporkan mengalami luka-luka akibat kejadian tersebut.
Penjelasan Pihak Kepolisian
Kapolrestabes Semarang, Kombes M Syahduddi, memberikan keterangan terkait insiden tersebut. Ia menjelaskan bahwa penggunaan gas air mata dilakukan karena massa aksi dinilai telah bertindak anarkis dan berusaha menyerang petugas serta memaksa masuk ke area gedung. Syahduddi membantah adanya pemukulan terhadap mahasiswa, dan mengklaim bahwa hanya terjadi aksi saling dorong. Namun, pernyataan ini berbeda dengan kesaksian para demonstran yang mengaku mengalami kekerasan dari pihak kepolisian.
Tuntutan Massa Aksi dan Penangkapan Demonstran
Demonstrasi ini merupakan bagian dari gelombang penolakan terhadap RUU TNI yang dinilai kontroversial. Massa aksi menuntut pencabutan RUU tersebut dan menyatakan siap untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai bahwa RUU tersebut berpotensi mengancam demokrasi dan supremasi sipil. Spanduk dan poster bertuliskan "Tolak UU TNI" dan "Tentara Pulang ke Barak" menjadi bukti penolakan massa aksi.
Dalam aksi tersebut, empat orang demonstran ditangkap oleh polisi dan dibawa ke Mapolrestabes Semarang untuk diperiksa. Ketua BEM Undip, Aufa Atha Ariq, mengonfirmasi bahwa mereka yang ditangkap terdiri dari dua mahasiswa dan dua petugas teknis aksi. Kapolrestabes Semarang membenarkan penangkapan tersebut, dan menyatakan bahwa salah satu yang ditangkap adalah orator aksi yang dianggap memprovokasi massa. Menurutnya, aksi mahasiswa hanya diizinkan sampai halaman gedung DPRD Jawa Tengah, namun massa aksi mencoba masuk ke dalam gedung, sehingga terjadi dorong-dorongan dengan aparat keamanan.
Pembebasan Demonstran dan Kecaman LBH
Setelah menjalani pemeriksaan selama lebih dari dua jam, keempat demonstran yang ditangkap akhirnya dibebaskan berkat solidaritas dari jaringan masyarakat sipil. Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Fajar Muhammad Andhika, mengecam penangkapan tersebut sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ia menyatakan bahwa para peserta aksi hanya menyuarakan pendapat di depan kantor Gubernur Jawa Tengah, dan seharusnya dilindungi oleh polisi, bukan malah ditindak dengan kekerasan. Andhika juga menyayangkan tindakan polisi yang menangkap para peserta aksi yang menolak RUU TNI, seolah-olah mereka adalah penjahat.
Reaksi Publik dan Langkah Selanjutnya
Bentrokan dalam aksi demonstrasi ini menuai kecaman dari berbagai pihak. Banyak yang menyayangkan tindakan represif aparat kepolisian terhadap para demonstran. Insiden ini juga memicu perdebatan tentang kebebasan berekspresi dan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Aliansi Semarang Menggugat menyatakan akan terus melakukan aksi penolakan terhadap RUU TNI dan akan mengawal proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka juga menuntut agar pihak kepolisian bertanggung jawab atas tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap para demonstran.
[Disclaimer: Berita ini dibuat berdasarkan informasi yang tersedia hingga saat pembuatan. Perkembangan terbaru terkait insiden ini mungkin terjadi.]