Pengesahan UU TNI Tuai Kritik: Proses Legislasi Diduga Abaikan Partisipasi Publik dan Ancam Profesionalisme

Kontroversi Revisi UU TNI: Proses Legislasi Dipertanyakan, Profesionalisme TNI Terancam?

Pengesahan revisi Undang-Undang (UU) TNI oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai gelombang kritik dari berbagai pihak. Proses legislasi yang tergesa-gesa dan kurang melibatkan partisipasi publik menjadi sorotan utama. Tak hanya itu, substansi revisi UU TNI juga dinilai berpotensi mengganggu profesionalisme lembaga pertahanan negara tersebut.

John Tuba Helan, seorang pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, secara tegas menyatakan bahwa revisi UU TNI cacat secara prinsip demokrasi. Menurutnya, proses pembahasan RUU TNI yang terkesan tertutup dan tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang.

"Dari segi demokrasi, pembahasan undang-undang tersebut melanggar prinsip demokrasi, karena tidak memberi kesempatan kepada rakyat untuk ikut berpartisipasi menyampaikan pendapat," ujarnya.

John Helan menambahkan, transparansi dalam penyusunan undang-undang adalah hal mutlak. Materi perubahan dalam RUU TNI seharusnya dipublikasikan secara luas agar masyarakat dapat memberikan masukan yang konstruktif. Keterlibatan publik akan menghasilkan undang-undang yang lebih aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Ancaman terhadap Profesionalisme TNI

Selain masalah partisipasi publik, John Helan juga menyoroti potensi ancaman terhadap profesionalisme TNI akibat revisi UU tersebut. Ia berpendapat bahwa penempatan personel TNI aktif di jabatan sipil dapat mengganggu fokus dan kinerja TNI sebagai kekuatan pertahanan negara.

Menurutnya, idealnya prajurit TNI baru dapat menduduki jabatan di pemerintahan setelah memasuki masa pensiun. Hal ini untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga netralitas TNI dalam ranah politik.

"Agar TNI benar-benar profesional, maka mereka tidak boleh keluar dari lingkungannya untuk menduduki jabatan sipil. Setelah mereka pensiun, maka baru bisa menduduki jabatan apa saja, karena statusnya sama dengan orang sipil," tegasnya.

Ketidakpastian Usia Pensiun

Lebih lanjut, John Helan mengkritisi ketidakjelasan mengenai usia pensiun prajurit TNI dalam revisi UU tersebut. Ia menilai bahwa mekanisme perpanjangan masa tugas yang bergantung pada keputusan pejabat berwenang dapat menimbulkan subjektivitas dan ketidakpastian hukum.

"Terkait usia pensiun, tidak memberikan kepastian, karena tergantung dari pejabat yang berwenang memperpanjang atau tidak, dan hal ini bisa terjadi suka dan tidak suka. Suka ya diperpanjang, tidak suka ya pensiun," jelasnya.

Untuk itu, John Helan mendesak agar kebijakan RUU TNI menetapkan batasan usia pensiun yang jelas dan pasti bagi prajurit TNI, terutama yang menduduki jabatan di pemerintahan. Hal ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan menghindari praktik-praktik yang merugikan prajurit TNI.

Reaksi Publik dan Implikasi Hukum

Pengesahan RUU TNI menjadi UU oleh DPR telah memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Sejumlah pihak khawatir bahwa revisi UU ini akan membuka kembali peluang bagi dwifungsi TNI, sebuah konsep yang pernah menjadi kontroversi di masa lalu.

Implikasi hukum dari revisi UU TNI ini masih akan terus dikaji dan diperdebatkan. Namun, satu hal yang pasti, revisi UU TNI telah menimbulkan pertanyaan serius mengenai proses legislasi di Indonesia dan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan profesionalisme lembaga negara.