Merayakan Kemuliaan Malam Lailatulqadar: Ragam Tradisi Unik di Nusantara

Merayakan Kemuliaan Malam Lailatulqadar: Ragam Tradisi Unik di Nusantara

Malam Lailatulqadar, sebuah malam penuh kemuliaan yang diyakini hadir di antara sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, selalu disambut dengan penuh suka cita dan pengharapan oleh umat Muslim di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kekayaan budaya Nusantara tercermin dalam berbagai tradisi unik yang dilakukan untuk menyambut dan memaknai malam istimewa ini. Tradisi-tradisi ini, yang diwariskan secara turun temurun, bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai kebersamaan, ketaatan, dan pengharapan akan keberkahan.

Tradisi menyambut Lailatulqadar di Indonesia sangat beragam, mencerminkan kekayaan budaya dan adat istiadat yang berbeda di setiap daerah. Keragaman ini menjadi bukti nyata bagaimana Islam berakulturasi dengan kearifan lokal, menghasilkan praktik-praktik keagamaan yang unik dan bermakna. Mari kita telusuri beberapa tradisi menarik yang menghiasi malam-malam penuh berkah di bulan Ramadan:

Selikuran: Menyambut Malam Ke-21 dengan Doa dan Pawai Obor

Di tanah Jawa, khususnya Yogyakarta, Surakarta, dan Gunungkidul, tradisi Selikuran menjadi penanda dimulainya sepuluh malam terakhir Ramadan. Nama "Selikuran" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "dua puluh satu," merujuk pada malam ke-21 Ramadan. Tradisi ini ditandai dengan:

  • Doa Bersama dan Tahlilan: Masyarakat berkumpul di masjid atau tempat-tempat ibadah untuk bersama-sama memanjatkan doa, membaca tahlil, dan merenungkan makna Lailatulqadar.
  • Pawai Obor: Obor-obor dinyalakan dan diarak keliling kampung, menciptakan suasana khusyuk dan meriah. Pawai obor ini melambangkan semangat untuk mencari cahaya Lailatulqadar dan menerangi jalan menuju keberkahan.
  • Pembagian Nasi Berkat: Di lingkungan keraton, tradisi Selikuran dimeriahkan dengan prosesi pembagian nasi berkat kepada masyarakat, sebagai wujud syukur dan berbagi rezeki.

Kenduri: Perjamuan Doa untuk Memohon Keberkahan

Kenduri, atau yang juga dikenal sebagai selamatan, adalah tradisi doa bersama yang umum dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Pada malam-malam ganjil di akhir Ramadan, masyarakat mengadakan kenduri dengan tujuan:

  • Memohon Keberkahan: Melalui doa dan zikir, masyarakat memohon kepada Allah SWT agar diberikan keberkahan dan rahmat di malam Lailatulqadar.
  • Berharap Mendapatkan Lailatulqadar: Kenduri menjadi wujud pengharapan agar Allah SWT memberikan kesempatan untuk meraih kemuliaan Lailatulqadar.
  • Pembacaan Al-Qur'an dan Zikir: Acara kenduri biasanya diisi dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan zikir, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
  • Pembagian Makanan: Setelah doa bersama, makanan yang telah disiapkan dibagikan kepada peserta yang hadir, sebagai simbol berbagi dan mempererat tali silaturahmi.

Nujuh Likur: Menyalakan Penerangan di Malam Ke-27

Masyarakat Melayu di Sumatra dan Kalimantan memiliki tradisi Nujuh Likur, yang berarti malam ke-27 Ramadan. Tradisi ini dilakukan dengan cara:

  • Menyalakan Lampu Tradisional: Lampu-lampu tradisional, seperti lampu colok atau pelita, dinyalakan dan ditempatkan di sekitar masjid, jalan-jalan, halaman rumah, dan teras-teras rumah penduduk. Pemandangan ini menciptakan suasana yang indah dan meriah.
  • Simbol Semangat: Nujuh Likur juga merupakan simbol semangat dan sukacita dalam menyambut malam Lailatulqadar, serta sebagai bentuk penghormatan kepada malam yang penuh kemuliaan.

Tradisi-tradisi ini, meskipun berbeda dalam bentuk dan pelaksanaannya, memiliki satu tujuan yang sama, yaitu menyambut dan memaknai Malam Lailatulqadar dengan penuh khusyuk dan pengharapan. Lebih dari sekadar ritual, tradisi-tradisi ini merupakan bagian dari identitas budaya Indonesia yang kaya dan beragam, yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Semoga kita semua diberikan kesempatan untuk meraih kemuliaan Lailatulqadar dan menjadi pribadi yang lebih baik.