Pencabutan Moratorium Pekerja Migran ke Arab Saudi: Antara Peluang Devisa dan Risiko Perlindungan
Dilema Pencabutan Moratorium Pekerja Migran ke Arab Saudi: Menguji Komitmen Perlindungan
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mencabut moratorium pengiriman pekerja migran (PMI) ke Arab Saudi memicu perdebatan sengit. Di satu sisi, potensi devisa yang mencapai Rp31 triliun menjadi daya tarik tersendiri. Di sisi lain, bayang-bayang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan minimnya perlindungan terhadap pekerja migran masih menjadi kekhawatiran utama.
Pemerintah mengklaim bahwa Arab Saudi telah membuka kuota besar, yakni 600.000 pekerja Indonesia, dengan jaminan gaji minimal Rp6,5 juta. Menteri Perlindungan Pekerja Migran bahkan menjanjikan bonus umrah setiap dua tahun masa kontrak. Rencana penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pada 20 Maret 2025, dan pengiriman perdana pada Juni mendatang, semakin memantapkan langkah pemerintah.
Rentetan Masalah di Balik Moratorium
Moratorium yang diberlakukan sejak 2015 merupakan respons atas serangkaian kasus kekerasan, pelecehan, kondisi kerja tidak manusiawi, dan eksekusi mati terhadap PMI di Arab Saudi. Kasus-kasus seperti Siti Zainab, Karni binti Medi Tarsim, dan Tuti Tursilawati menjadi simbol ketidakberdayaan PMI dalam menghadapi sistem hukum dan budaya kerja yang eksploitatif.
Beberapa kasus yang memicu moratorium:
- Siti Zainab binti Duhri Rupa (1999): Dituduh membunuh majikan dan dieksekusi pada 2015.
- Karni binti Medi Tarsim (2012): Divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan anak majikan dan dieksekusi pada 2015.
- Tuti Tursilawati (2018): Dieksekusi mati tanpa pemberitahuan resmi kepada pemerintah Indonesia. Diduga membunuh majikan sebagai bentuk pembelaan diri.
- Kasus-kasus lain seperti Yanti Irianti, Muhammad Zaini Misrin, dan Ruyati juga menambah daftar panjang tragedi PMI di Arab Saudi.
Tuntutan Perbaikan Sistem Perlindungan
Para pegiat pekerja migran menekankan pentingnya perbaikan sistem perlindungan secara menyeluruh sebelum moratorium dicabut. Mereka menyoroti lemahnya implementasi UU PPMI (Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) di tingkat kabupaten dan desa. UU PPMI sendiri disahkan pada 2017.
Beberapa poin krusial yang harus diperbaiki:
- Peningkatan sosialisasi dan edukasi mengenai hak-hak pekerja migran.
- Akses terhadap keadilan dan bantuan hukum yang mudah dan terjangkau.
- Jaminan sosial dan perlindungan kesehatan yang komprehensif.
- Pengawasan ketat terhadap proses perekrutan dan penempatan PMI.
- Peningkatan keterampilan dan kompetensi PMI melalui pelatihan yang berkualitas.
- Pentingnya tes psikologis untuk calon pekerja migran.
- Pembenahan data pekerja migran agar perlindungan tepat sasaran.
Evaluasi Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK)
Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang diuji coba sejak 2023 sebagai solusi tata kelola pengiriman PMI ke Arab Saudi juga menuai kritik. Serikat Buruh Migran Indonesia di Jeddah menilai SPSK belum membawa perbaikan signifikan. Banyak PMI yang kabur dari majikan karena beban kerja tidak sesuai dengan gaji yang diterima.
Jaringan Buruh Migran menyoroti minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam evaluasi SPSK. Mereka mengklaim sistem ini justru dimanfaatkan oleh agen-agen pengirim tenaga kerja untuk melakukan trafficking.
Antara Devisa dan Harga Diri Bangsa
Pemerintah harus menimbang dengan cermat antara potensi keuntungan ekonomi dan risiko pelanggaran HAM yang mengintai PMI di Arab Saudi. Pencabutan moratorium tanpa perbaikan sistem perlindungan yang memadai sama saja dengan mengorbankan harga diri bangsa dan keselamatan warga negara.
Para pegiat pekerja migran mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam melindungi hak-hak PMI. Mereka meminta pemerintah untuk melibatkan pekerja migran dan organisasi pekerja migran dalam setiap proses pengambilan kebijakan terkait penempatan PMI di luar negeri.
Keputusan akhir berada di tangan pemerintah. Namun, satu hal yang pasti, perlindungan terhadap pekerja migran harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar mengejar target devisa.