UU TNI Disahkan: Gelombang Kritik Mengalir, Akademisi Soroti Potensi Kembalinya Dwifungsi Militer dan Erosi Demokrasi
Pengesahan UU TNI Menuai Kritik Tajam dari Pakar Hukum dan Politik
Pengesahan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (20/3/2025) menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan, terutama dari akademisi dan pengamat politik di Yogyakarta. Mereka menyoroti potensi kembalinya dwifungsi militer, erosi demokrasi, serta minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan undang-undang tersebut.
Kritik Pedas dari UGM dan UII
Profesor Wahyudi Kumorotomo, Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), menyampaikan keprihatinannya atas pengesahan UU TNI. Beliau menilai bahwa undang-undang ini merupakan kekalahan bagi masyarakat sipil dan kemenangan bagi elite politik dengan agenda yang berpotensi memperkeruh situasi bangsa. Kumorotomo menyoroti ambiguitas dalam beberapa pasal, khususnya Pasal 7 (2) b point 7 yang mengatur tentang tugas operasi militer selain perang, termasuk pengamanan presiden, wakil presiden, dan keluarga mereka. Menurutnya, pasal ini dapat diinterpretasikan secara luas dan disalahgunakan untuk kepentingan penguasa dan aparat TNI.
"Ada banyak pasal karet, misal Pasal 7 (2) b point 7. Tugas operasi militer selain perang mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya. Tugas-tugas operasi militer selain perang bisa diatur melalui peraturan pemerintah atau Perpres. Ini akan bisa diisi dengan apa saja, sesuai kepentingan pemerintah dan aparat TNI," ujar Kumorotomo.
Kumorotomo juga menekankan bahwa perubahan dalam UU TNI bukan hanya bersifat teknis, melainkan merupakan indikasi kemunduran demokrasi (democracy backsliding) yang semakin nyata, mengarah pada kembalinya rezim militer. Beliau menyoroti proses penyusunan RUU TNI yang terkesan disembunyikan dari publik, termasuk pembahasan yang dilakukan di hotel dengan biaya fantastis.
Sementara itu, Allan Fatchan Gani Wardhana, pengajar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), mempertanyakan keabsahan UU TNI. Ia menilai bahwa sejak awal pembentukan, RUU ini bermasalah karena minimnya partisipasi publik dan penyusunan naskah akademik yang serampangan. Allan menjelaskan bahwa cacat formil dalam proses pembentukan undang-undang dapat menjadi dasar bagi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkannya.
"Sejak awal proses pembentukannya ada problem yaitu soal partisipasi publik dan naskah akademik yang tidak sesuai kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Allan.
Allan juga menyoroti perluasan kekuasaan TNI yang diakomodasi dalam UU TNI, khususnya terkait dengan penempatan personel TNI di jabatan sipil. Menurutnya, hal ini tidak mendesak, mengingat konstitusi telah mengamanatkan TNI untuk fokus pada pertahanan dan keamanan negara.
Peluang Gugatan ke MK
Meski demikian, Allan melihat adanya peluang bagi koalisi masyarakat sipil untuk mengajukan gugatan judicial review ke MK guna membatalkan UU TNI. Ia optimistis bahwa gugatan tersebut berpotensi dikabulkan, berkaca pada kasus UU Cipta Kerja yang sebelumnya dibatalkan oleh MK karena proses pembentukan yang serampangan dan minim partisipasi publik.
"Kemungkinan itu ada, apalagi MK pernah membatalkan UU Cipta Kerja karena dibuat serampangan dan tidak membuka ruang partisipasi publik. Dibatalkan secara formil bahkan akhir tahun kemarin dibatalkan juga sebagian isi pasalnya karena bertentangan dengan UUD," ujar Allan.
Dampak Pengesahan UU TNI
Pengesahan UU TNI ini menjadi perhatian serius bagi para pengamat dan aktivis demokrasi. Mereka khawatir bahwa undang-undang ini akan membuka ruang bagi kembalinya dwifungsi militer, yang pernah menjadi ciri khas Orde Baru, serta mengancam supremasi sipil dan penegakan hukum di Indonesia. Kritik terhadap UU TNI ini menyoroti beberapa poin penting:
- Minimnya Partisipasi Publik: Proses penyusunan RUU TNI dinilai kurang transparan dan tidak melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil.
- Ambiguitas Pasal: Beberapa pasal dalam UU TNI dinilai ambigu dan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan penguasa.
- Perluasan Kekuasaan TNI: UU TNI memberikan ruang yang lebih luas bagi personel TNI untuk menduduki jabatan sipil, yang dikhawatirkan akan mengganggu profesionalisme dan netralitas TNI.
- Ancaman Demokrasi: Para kritikus menilai bahwa pengesahan UU TNI merupakan indikasi kemunduran demokrasi di Indonesia.
Pengesahan UU TNI ini memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat sipil dan menjadi ujian bagi komitmen pemerintah terhadap reformasi sektor keamanan dan supremasi sipil.