Selikuran: Menghidupkan Malam-Malam Akhir Ramadan dengan Tradisi Jawa
Malam Selikuran, sebuah tradisi yang mengakar kuat dalam masyarakat Jawa, khususnya saat bulan Ramadan, menjadi penanda dimulainya sepuluh malam terakhir yang penuh berkah. Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi sebuah upaya kolektif untuk menyambut Lailatulqadar, malam yang diyakini lebih mulia dari seribu bulan. Selikuran menjadi momentum refleksi diri, peningkatan ibadah, dan mempererat tali persaudaraan.
Makna Mendalam di Balik Nama
Secara harfiah, Selikur berasal dari bahasa Jawa yang berarti dua puluh satu. Malam Selikuran menandai malam ke-21 Ramadan, awal dari sepuluh malam ganjil terakhir. Pemilihan malam ganjil ini didasari keyakinan bahwa Lailatulqadar akan hadir pada salah satu malam-malam tersebut. Oleh karena itu, umat Muslim berlomba-lomba meningkatkan ibadah dan amalan baik di malam-malam terakhir Ramadan.
Kenduri: Jantung Tradisi Selikuran
Puncak dari tradisi Selikuran adalah penyelenggaraan kenduri. Kenduri, atau selamatan, merupakan wujud syukur dan kebersamaan. Warga berkumpul di masjid, mushola, atau bahkan pos ronda, membawa berbagai hidangan sederhana dari rumah masing-masing. Makanan-makanan ini kemudian dikumpulkan, didoakan bersama, dan dinikmati bersama sebagai takjil berbuka puasa.
Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung
Tradisi Selikuran bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur:
- Silaturahmi: Berkumpul dan berbagi hidangan mempererat hubungan antar warga.
- Persatuan: Kenduri menjadi wadah bagi seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dalam keberagaman.
- Kepedulian: Makanan yang terkumpul seringkali dibagikan kepada mereka yang membutuhkan, menumbuhkan semangat berbagi dan sedekah.
- Refleksi Diri: Momentum untuk merenungkan perbuatan selama bulan Ramadan.
Jejak Sejarah dan Akulturasi Budaya
Sejarah mencatat bahwa tradisi Selikuran diperkenalkan oleh Wali Songo, para penyebar agama Islam di tanah Jawa. Para wali mengadaptasi tradisi dan budaya lokal untuk memudahkan penyampaian ajaran Islam. Selikuran menjadi sarana dakwah yang efektif, mengajak masyarakat untuk meningkatkan ibadah, bersedekah, dan introspeksi diri di sepuluh malam terakhir Ramadan. Dengan demikian, Selikuran bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga simbol akulturasi budaya dan kearifan lokal.
Tradisi Selikuran di era modern terus dilestarikan dengan berbagai inovasi. Beberapa komunitas mengadakan Selikuran dengan konsep yang lebih kreatif, seperti pertunjukan seni, lomba-lomba Islami, atau kegiatan sosial lainnya. Namun, esensi dari Selikuran tetap sama, yaitu menghidupkan malam-malam terakhir Ramadan dengan ibadah, kebersamaan, dan kepedulian. Selikuran menjadi pengingat bahwa setiap Muslim harus bersungguh-sungguh dalam meraih kemuliaan Lailatulqadar, malam yang penuh ampunan dan keberkahan.