Mencari Keadilan Inklusif: Tantangan Representasi Minoritas di Pemerintahan Suriah Pasca-Assad
Dilema Representasi Minoritas di Suriah Pasca-Konflik
Pasca penggulingan rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu, Suriah memasuki babak baru dalam sejarahnya. Uni Eropa dan negara-negara lain telah menyatakan bahwa pencabutan sanksi terhadap Suriah bergantung pada terwujudnya pemerintahan yang inklusif, yang mencakup semua komunitas di negara tersebut. Namun, jalan menuju inklusivitas ini tidaklah mudah, dan tantangan representasi minoritas menjadi salah satu isu krusial yang perlu diatasi.
Komposisi Etnis dan Agama Suriah
Sebelum perang saudara, Suriah memiliki keragaman etnis dan agama yang kaya. Mayoritas penduduknya adalah Muslim Sunni (sekitar 68%), diikuti oleh kelompok etnoreligius Alawi (9-13%), Kurdi (8-10%), serta kelompok-kelompok lain seperti Druze, Kristen, Armenia, Circassian, Turkmen, Palestina, dan Yazidi. Selama berkuasa, keluarga Assad dituduh mengeksploitasi perbedaan antar kelompok ini untuk mempertahankan kekuasaan.
Kritik Terhadap Konstitusi Sementara dan Keterwakilan dalam Dialog Nasional
Pemerintah sementara Suriah baru-baru ini merilis versi pertama konstitusi baru, yang bersifat sementara. Namun, konstitusi ini menuai kritik karena tidak menyebutkan kelompok minoritas. Selain itu, warga Suriah juga mengeluhkan kurangnya keterwakilan kelompok etnis dan sektarian dalam acara Dialog Nasional Suriah.
Karam Shaar Advisory, sebuah konsultan yang mengkhususkan diri dalam ekonomi Suriah, menyoroti bahwa pemerintah sementara masih terkait erat dengan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok pemberontak yang memimpin penggulingan Assad. Analisis terhadap komposisi kabinet dan pejabat senior menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka adalah laki-laki dan Muslim Sunni. Meski hal ini dapat dimaklumi mengingat kondisi saat pelantikan, kelanjutan tren ini dikhawatirkan akan menjadi masalah.
Menolak Sistem Kuota: Mencari Individu Berkualitas
Menariknya, banyak warga Suriah sendiri tidak yakin bahwa sistem kuota adalah solusi yang tepat. Alaa Sindian, seorang Muslim Syiah yang kembali ke Damaskus setelah melarikan diri selama perang, menyatakan bahwa ia tidak ingin melihat kursi di parlemen hanya diperuntukkan bagi kelompok-kelompok tertentu. Ia berpendapat bahwa pemerintah harus mencari individu yang berkualitas dari dalam kelompok minoritas.
Sikap ini sejalan dengan temuan riset Swisspeace, yang menunjukkan bahwa peserta diskusi asal Suriah menolak sistem kuota karena melihat dampak negatifnya di negara lain seperti Irak dan Lebanon, yang justru menimbulkan masalah jangka panjang.
Belajar dari Kegagalan Irak dan Lebanon
Pengalaman Irak dan Lebanon menjadi pelajaran berharga bagi Suriah. Di Lebanon, Perjanjian Taif tahun 1989 mengakhiri perang saudara dengan mengalokasikan representasi berdasarkan kelompok sektarian. Sementara di Irak, setelah invasi AS tahun 2003, kekuasaan dibagi antara tiga kelompok demografis utama.
Namun, sistem-sistem ini terbukti memiliki kelemahan. Nour Mohsen berpendapat bahwa sistem konvensional semacam itu dapat mengarah pada sektarianisme, ketidakstabilan akibat korupsi, kepemimpinan yang tidak kompeten, persaingan untuk mendapatkan hak istimewa, dan campur tangan asing.
Alternatif: Pemerintahan Teknokratik dan Proses Bottom-Up
Shadi al-Dubisi, seorang aktivis masyarakat sipil Druze, mendukung ide pemerintahan teknokratik, di mana individu dinilai berdasarkan kompetensi dan kemampuan, bukan afiliasi sektarian, agama, atau etnis.
Sahar Ammar dari Swisspeace menekankan pentingnya proses dari bawah ke atas di tingkat lokal untuk membina budaya dialog dan membangun kembali kepercayaan. Ia berpendapat bahwa hal ini akan menjadi kelanjutan alami dari upaya masyarakat sipil Suriah baru-baru ini.
Federalisme dan Tantangan Dominasi Etnis
Federalisme, yang diterapkan di negara-negara seperti Jerman, AS, dan Rusia, juga merupakan opsi yang patut dipertimbangkan. Namun, John McGarry mengingatkan bahwa sistem federal dapat digunakan untuk menyembunyikan dominasi oleh beberapa komunitas etnis atas yang lainnya, seperti yang terjadi di Afrika Selatan pada masa apartheid.
Kesimpulan: Memberi Ruang Bagi Solusi Suriah
Tidak ada formula ajaib untuk memastikan representasi yang adil bagi semua kelompok di Suriah pasca-konflik. Setiap strategi memiliki pro dan kontra. Roccatello dari ICTJ menekankan pentingnya memberi ruang bagi orang Suriah untuk mencari solusi mereka sendiri, dengan tetap berpegang pada hak-hak dasar, termasuk hak-hak minoritas. Saat ini, dengan kondisi keamanan yang belum stabil, terlalu dini untuk menilai kesediaan pemerintah untuk mewujudkan inklusivitas.
Tantangan representasi minoritas di Suriah memerlukan pendekatan yang hati-hati dan kontekstual, dengan mempertimbangkan sejarah, realitas sosial, dan aspirasi warga Suriah sendiri. Keterbukaan terhadap berbagai model pemerintahan, penolakan terhadap sistem kuota yang kaku, dan penekanan pada kompetensi individu adalah beberapa langkah penting dalam membangun Suriah yang inklusif dan adil bagi semua warganya.