DTC Surabaya Berjuang di Tengah Gempuran E-Commerce: Pedagang Merasakan Dampak Penurunan Omzet Jelang Lebaran
DTC Surabaya: Antara Tradisi Belanja Lebaran dan Dominasi E-Commerce
Menjelang Hari Raya Idul Fitri, pusat perbelanjaan Darmo Trade Center (DTC) Surabaya menghadapi tantangan berat. Hiruk pikuk pembeli yang biasanya memeriahkan suasana jelang Lebaran kini meredup, digantikan lorong-lorong yang lengang dan kekhawatiran di wajah para pedagang. Penurunan drastis jumlah pembeli menjadi keluhan utama, seiring dengan semakin populernya belanja online.
Sepi Pengunjung, Banyak Toko Tutup
Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa beberapa lantai di DTC, terutama lantai 2, 5, dan 6, terlihat sepi. Banyak stan yang tutup, dan lampu penerangan dimatikan sebagai upaya penghematan operasional. Kondisi ini sangat kontras dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana DTC selalu menjadi tujuan utama masyarakat Surabaya untuk berbelanja kebutuhan Lebaran.
Lantai 3 juga mengalami penurunan jumlah pengunjung yang signifikan. Hanya lantai 4 yang masih relatif ramai karena terdapat area food court yang dipadati pengunjung.
Keluhan Pedagang: Harga Tak Bisa Bersaing dengan E-Commerce
Para pedagang yang masih bertahan mengungkapkan bahwa penurunan omzet disebabkan oleh gempuran e-commerce. Santi, seorang pedagang kerudung yang telah berjualan di DTC selama 11 tahun, mengeluhkan bahwa harga di toko offline sulit bersaing dengan harga di platform online. Pembeli seringkali membandingkan harga dan menawar dengan harga yang sangat rendah.
"Sering banyak yang membandingkan barang di sini lebih mahal daripada online. Misalnya, kita jual harga Rp 60.000 ditawarnya sampai Rp 32.000," ujarnya.
Santi menjelaskan bahwa kualitas barang yang dijual di DTC berbeda dengan yang dijual secara online. Namun, hal ini tidak serta merta membuat pembeli beralih ke toko offline.
"Kami cuma bisa bela diri bahwa bahan di sini beda, ukurannya juga beda," jelas Santi.
Penurunan omzet yang dialami Santi mencapai lebih dari 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini diperparah dengan harga sewa stan yang tetap tinggi, yaitu Rp 3,3 juta per bulan. Akibatnya, banyak pedagang yang memutuskan untuk menutup toko mereka.
"Misalnya, toko baju second yang di sana, awalnya dia punya lima toko, tapi sekarang habis hanya tinggal satu. Ada juga toko lain yang rencananya mau tutup setelah Lebaran. Banyak pedagang yang mengeluh," tutur Santi.
Meski demikian, Santi tidak berniat untuk beralih ke penjualan online karena menurutnya keuntungan yang didapatkan sangat kecil.
"Kalau online itu untungnya kecil sekali, Mbak. Kita cuma bisa dapat (untung) Rp 3.000," ungkapnya.
Satu-satunya cara yang ia lakukan untuk menarik pembeli adalah dengan memberikan diskon. Namun, upaya ini belum membuahkan hasil yang signifikan.
Sudut Pandang Pembeli: Kenyamanan Belanja Offline Tetap Jadi Pilihan
Mutiara Dwi, seorang mahasiswa yang menjadi pelanggan setia DTC, mengaku lebih memilih berbelanja offline karena bisa melihat langsung barang yang diinginkan. Ia juga menilai harga di DTC masih terjangkau untuk kantong mahasiswa.
"Terkadang kalau beli online, seringkali enggak sesuai apa yang ada di deskripsi barang sama realitanya," ungkapnya.
Selain itu, Mutiara juga mempertimbangkan waktu pengiriman barang melalui e-commerce yang seringkali terlambat menjelang Lebaran.
"Jadi enggak cocok kalau kita butuh barang yang cepat karena kurir-kurir biasanya juga sudah penuh," tuturnya.
Namun, ia juga tidak menutup kemungkinan untuk berbelanja online tergantung pada kebutuhan.
"Tergantung kebutuhan juga sih, seperti skincare itu biasanya saya masih sering beli online," pungkasnya.
Nasib Pusat Perbelanjaan Tradisional di Era Digital
Kondisi yang dialami DTC bukanlah kasus tunggal. Banyak pusat perbelanjaan tradisional di Surabaya mengalami nasib serupa, seiring dengan perubahan perilaku konsumen yang semakin beralih ke belanja online. Jika tidak ada inovasi dan adaptasi yang signifikan, pusat perbelanjaan offline akan semakin terpuruk dan ditinggalkan oleh konsumen.