RUU TNI Picu Kekhawatiran, Politisi Demokrat Ungkap Trauma Partai Politik Terhadap Dwifungsi ABRI
RUU TNI: Trauma Orde Baru Hantui Partai Politik dan Masyarakat Sipil
Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah digodok di parlemen menuai kontroversi. Kekhawatiran akan kembalinya praktik dwifungsi ABRI, seperti di era Orde Baru, menghantui berbagai kalangan, termasuk partai politik. Rachland Nashidik, seorang politisi dari Partai Demokrat, mengungkapkan bahwa partainya, dan partai politik lainnya, memiliki trauma mendalam terhadap dwifungsi ABRI.
"Tidak ada partai politik yang menginginkan dwifungsi ABRI kembali," tegas Rachland dalam sebuah diskusi yang disiarkan di YouTube Kompas TV. Ia menjelaskan bahwa partai politik akan menjadi korban pertama jika militer kembali memegang peran ganda, baik dalam bidang pertahanan maupun sosial-politik. "Partai politik pasti diberangus," imbuhnya.
Trauma ini, menurut Rachland, bukan hanya dirasakan oleh partai politik, tetapi juga oleh masyarakat sipil. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil di Hotel Fairmont, pada 14 Maret 2025 lalu, saat pembahasan RUU TNI, merupakan wujud nyata dari kekhawatiran dan trauma tersebut.
Masyarakat Sipil dan Upaya Mempertahankan Demokrasi
Rachland memandang aksi protes tersebut sebagai "civil courage" atau keberanian sipil untuk mempertahankan demokrasi. Ia berharap pemerintah dan DPR dapat memahami aspirasi masyarakat sipil dan tidak mengabaikan kekhawatiran mereka terkait RUU TNI.
"Seharusnya protes dari civil society itu sedari awal memang ditanggapi dengan satu pengertian bahwa ini adalah civil courage dari kalangan masyarakat sipil untuk mempertahankan demokrasi," ujarnya.
Trauma Kekerasan Militer Era Orde Baru
Trauma kekerasan militer di era Orde Baru, yang ditegakkan melalui dwifungsi ABRI, menjadi akar dari kekhawatiran ini. Rachland meyakini bahwa konstruksi trauma serupa juga dirasakan oleh elemen masyarakat lainnya, termasuk partai politik.
"Dalam konstruksi yang sama, teman-teman civil society juga harusnya bisa melihat trauma yang sama juga dimiliki oleh kalangan-kalangan lain, termasuk partai politik," katanya.
Proses Pengesahan RUU TNI
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI kini berada di ambang pengesahan menjadi undang-undang. Komisi I DPR dan pemerintah telah menyetujui untuk membawa RUU ini ke rapat paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Meskipun mendapat persetujuan dari delapan fraksi di Komisi I, RUU ini tetap menuai protes dari masyarakat.
Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, meminta persetujuan dari peserta rapat untuk membawa RUU TNI ke pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI untuk disetujui menjadi UU. Permintaan tersebut disetujui oleh seluruh peserta rapat.
Pengambilan keputusan ini dilakukan setelah Komisi I menggelar rapat penyampaian laporan hasil perumusan dan sinkronisasi RUU TNI oleh tim perumus dan tim sinkronisasi DPR RI.
Sorotan dan Pertanyaan
Pengesahan RUU TNI ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran. Apakah RUU ini akan benar-benar memperkuat TNI tanpa mengancam demokrasi? Bagaimana pemerintah akan merespons kekhawatiran masyarakat sipil? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Yang jelas, trauma masa lalu masih menjadi bayang-bayang yang menghantui proses legislasi ini.
- RUU TNI dan kekhawatiran akan Dwifungsi ABRI
- Peran masyarakat sipil dalam mengawal demokrasi
- Trauma masa lalu era orde baru