Revisi UU TNI: Legalisasi Penempatan Perwira Aktif di Jabatan Sipil Era Jokowi?
Revisi UU TNI: Mempertanyakan Batasan Peran Militer dalam Pemerintahan Sipil
Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai sorotan tajam. Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Andi Widjajanto, mengungkapkan bahwa RUU ini berpotensi melegalkan praktik penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil yang telah berjalan selama satu dekade terakhir, tepatnya sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Andi Widjajanto, yang menjabat sebagai Gubernur Lemhannas pada periode 2022-2023, menjelaskan bahwa revisi ini lebih bersifat teknokratik, dan pada dasarnya merupakan upaya untuk meresmikan penempatan perwira aktif di berbagai posisi sipil yang sebelumnya tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Hal ini diungkapkan Andi dalam sebuah diskusi di Kompas TV.
"Revisi yang teknokratik ini untuk saya juga merupakan legalisasi dari penempatan perwira aktif yang sudah berjalan selama masa Pak Jokowi, selama 10 tahun," ujar Andi.
Praktik penempatan ini, menurut Andi, telah berlangsung selama 10 tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, dan RUU ini menjadi upaya untuk memberikan landasan hukum yang jelas terhadap praktik tersebut. Beberapa contoh jabatan sipil yang kini diisi oleh personel militer aktif, yang sebelumnya tidak diatur dalam UU TNI 2004, menjadi sorotan.
Contoh Jabatan yang Terpengaruh
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB): Andi menyoroti bahwa Pasal 47 UU TNI 2004 sebelumnya tidak mencantumkan kata "bencana", namun kini frasa tersebut dimasukkan, mengindikasikan peran TNI dalam penanggulangan bencana.
- Pertahanan Siber: Pasal 47 yang asli hanya menyebutkan kata "sandi", namun kini diperluas dengan memasukkan frasa "pertahanan siber", yang menunjukkan keterlibatan TNI dalam bidang keamanan siber.
Andi juga menyoroti bahwa terdapat banyak jabatan sipil lain yang telah diisi oleh personel TNI sejak era Jokowi, dan RUU TNI ini akan melegalisasi praktik tersebut. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai paradigma peran militer dalam membantu tugas-tugas sipil.
Perdebatan Paradigma
"Nah nanti perdebatan paradigmanya adalah TNI berperan kah untuk perbatasan? Berperan. TNI berperan kah katakanlah untuk bencana? Berperan. Tapi apakah harus ada TNI aktif dalam organisasi itu? Nah itu belum tentu," kata Andi.
Lebih lanjut Andi menjabarkan bahwa yang menjadi pertanyaan adalah sampai sejauh mana keterlibatan anggota TNI aktif pada organisasi-organisasi sipil. Andi menilai bahwa keterlibatan TNI dalam perbatasan atau penanggulangan bencana adalah hal yang wajar, namun menjadi pertanyaan besar apakah harus ada TNI aktif dalam organisasi tersebut atau tidak. Penasihat senior Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45) ini juga menambahkan bahwa RUU TNI akan menjadi tanda tanya besar soal paradigma sejauh mana militer berperan membantu tugas-tugas sipil.
Proses Pengesahan dan Kontroversi
RUU TNI ini dijadwalkan untuk disahkan menjadi Undang-Undang pada hari ini, Kamis (20/3/2025) di DPR, meskipun menuai protes dari berbagai pihak. Proses pembahasan RUU ini dinilai terlalu cepat dan terkesan tertutup.
Perubahan dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 mencakup beberapa poin penting, antara lain:
- Penambahan Usia Dinas Keprajuritan: Usia dinas bagi bintara dan tamtama akan ditambah hingga 58 tahun, sementara bagi perwira dapat mencapai 60 tahun. Bahkan, masa dinas dapat diperpanjang hingga 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.
- Peluasan Penempatan Prajurit Aktif: RUU ini juga akan mengubah aturan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga, dengan alasan meningkatnya kebutuhan penempatan prajurit TNI di berbagai instansi pemerintah.
Revisi UU TNI ini memicu perdebatan mengenai batas-batas yang jelas antara peran militer dan sipil dalam pemerintahan. Kritikus khawatir bahwa revisi ini dapat mengaburkan batas-batas tersebut dan berpotensi mengurangi akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan sipil.