Manuver PDI-P dalam RUU TNI: Oposisi yang Bermitra atau Demokrasi yang Terancam?
PDI-P dalam Pusaran RUU TNI: Antara Oposisi dan Kemitraan Pemerintah
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang secara formal berada di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, justru memegang peran kunci dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) di Komisi I DPR RI. Utut Adianto, kader PDI-P, didapuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi UU TNI, sebuah fakta yang menimbulkan pertanyaan tentang posisi dan peran partai berlambang banteng tersebut dalam konstelasi politik nasional.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai bahwa keterlibatan PDI-P sebagai pemimpin pembahasan RUU TNI mengindikasikan kemitraan strategis antara partai tersebut dengan pemerintah. "Peran PDI-P sebagai Ketua Panja Revisi UU TNI semakin mengafirmasi wajah PDI-P sebagai mitra strategis pemerintah di DPR," ujarnya. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa PDI-P, meskipun secara retorika masih mengkritisi pemerintah dalam isu-isu tertentu, secara substansial telah menjadi bagian dari establishment.
Masyarakat Sipil Sebagai Benteng Demokrasi?
Agung Baskoro juga menyoroti peran penting masyarakat sipil dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Menurutnya, dengan terkonsolidasinya kekuatan politik di DPR melalui KIM Plus, kelompok masyarakat sipil seperti LSM, media massa, gerakan mahasiswa, dan ormas keagamaan menjadi tumpuan utama untuk memastikan fungsi check and balances tetap berjalan.
Pandangan senada diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga. Ia menilai bahwa PDI-P telah kehilangan daya kritisnya dan justru mendukung revisi UU TNI yang kontroversial. "Kekuatan sipil harus bersatu menggantikan peran PDI-P yang mandul. Peran itu diperlukan untuk menyelamatkan demokrasi di Tanah Air," tegas Jamiluddin.
Perubahan Sikap yang Signifikan
Sikap PDI-P terkait RUU TNI mengalami perubahan drastis. Pada Juli 2024, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri secara terbuka menentang revisi UU TNI dan Polri. Ia khawatir revisi tersebut akan menyetarakan kedua institusi tersebut, yang menurutnya tidak tepat.
"Kalau disetarakan artinya kalau AURI-nya (TNI AU) punya pesawat, berarti polisinya juga mesti punya pesawat dong," ujar Megawati saat itu.
Namun, kini PDI-P justru mendukung RUU TNI. Fraksi PDI-P di DPR berpendapat bahwa RUU ini akan memperkuat hubungan dan kerja sama antara TNI dengan seluruh komponen bangsa, serta memberikan kepastian hukum dalam penugasan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil tertentu. Selain itu, PDI-P juga melihat bahwa RUU ini dapat meningkatkan kesejahteraan prajurit melalui perubahan batasan usia pensiun.
Alasan di Balik Perubahan Sikap
Utut Adianto menjelaskan bahwa perubahan sikap PDI-P didasari oleh penekanan Megawati Soekarnoputri untuk mencegah kembalinya era Orde Baru. Megawati, menurut Utut, ingin memastikan supremasi sipil tetap terjaga dan TNI tidak kembali menjadi kekuatan yang terlalu dominan dalam politik.
"Kalau Ibu, jangan kembali ke Orde Baru, konsepnya TNI jadi sangat kuat dan militeristik. Jadi ini supremasi sipil. Dan yang terakhir, beri perhatian kepada prajurit," kata Utut.
Perubahan sikap PDI-P ini memunculkan berbagai interpretasi. Sebagian pihak melihatnya sebagai bentuk kompromi politik yang pragmatis, sementara yang lain menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip oposisi. Yang jelas, manuver PDI-P dalam RUU TNI ini akan terus menjadi sorotan dan perdebatan di kalangan pengamat politik dan masyarakat sipil.
Poin-poin penting RUU TNI yang didukung PDI-P:
- Memperkuat hubungan dan kerja sama antara TNI dengan seluruh komponen bangsa.
- Memberikan kepastian hukum dalam penugasan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil tertentu.
- Meningkatkan kesejahteraan prajurit melalui perubahan batasan usia pensiun.
Kontroversi RUU TNI membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang peran TNI dalam masyarakat sipil, keseimbangan kekuasaan, dan masa depan demokrasi di Indonesia. Apakah PDI-P benar-benar menjadi mitra strategis pemerintah, ataukah masih ada ruang bagi oposisi yang konstruktif? Waktu yang akan menjawab.