NTT Hadapi Tantangan Stunting: Lebih dari 330 Ribu Keluarga Membutuhkan Intervensi Pemerintah

NTT Darurat Stunting: Pemerintah Pusat dan Daerah Bersinergi Atasi Krisis

Jakarta – Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi tantangan serius dalam penanganan stunting. Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN), Wihaji, mengungkapkan bahwa lebih dari 331.000 keluarga di provinsi tersebut masuk dalam kategori Keluarga Risiko Stunting (KRS) dan membutuhkan bantuan mendesak dari pemerintah. Pernyataan ini disampaikan saat menerima kunjungan kerja Gubernur NTT beserta jajaran di Kantor Kemendukbangga/BKKBN, Jakarta Timur.

"Data yang kami himpun menunjukkan bahwa dari total 769.000 keluarga di NTT, sekitar 43% berada dalam kondisi berisiko stunting. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan memerlukan tindakan nyata serta kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah," ujar Wihaji. Ia menambahkan bahwa dari jumlah tersebut, sekitar 81.984 keluarga tergolong dalam desil 1, yang sebelumnya dikenal sebagai pra-sejahtera atau miskin ekstrem.

Kondisi sanitasi dan akses air bersih juga menjadi faktor krusial. Wihaji mengungkapkan bahwa:

  • Sebanyak 157.000 keluarga belum memiliki jamban yang layak.
  • Sebanyak 103.000 keluarga tidak memiliki akses terhadap sumber air minum utama yang layak.

Persoalan sanitasi dan air bersih ini memperburuk kerentanan terhadap stunting, terutama pada anak-anak di bawah usia dua tahun.

Sinergi Program Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

Dalam pertemuan tersebut, dibahas pula mengenai potensi sinergi antara program-program Kemendukbangga/BKKBN dengan program-program Pemerintah Provinsi NTT, khususnya di bidang kependudukan dan pembangunan keluarga. Wihaji menekankan pentingnya intervensi yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk mengatasi akar masalah stunting di NTT.

"Kami menawarkan dukungan teknis dan pendampingan kepada Pemerintah Provinsi NTT dalam melaksanakan program-program yang berfokus pada peningkatan gizi ibu hamil dan anak-anak, perbaikan sanitasi dan akses air bersih, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola asuh yang baik," jelas Wihaji.

Memaksimalkan Bonus Demografi di NTT

Selain fokus pada penanganan stunting, Wihaji juga menyoroti potensi bonus demografi yang dimiliki Indonesia, di mana 70,72 persen penduduknya berada dalam usia produktif (15-64 tahun). Ia menekankan bahwa bonus demografi ini dapat menjadi modal penting bagi pembangunan ekonomi, asalkan angkatan kerja produktif tersebut memiliki akses terhadap lapangan pekerjaan yang memadai.

"Tantangan kita adalah memastikan bahwa angkatan kerja produktif ini benar-benar terserap dalam lapangan pekerjaan. Di NTT, mungkin hanya sebagian kecil dari angkatan kerja produktif yang memiliki pekerjaan. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia," ungkap Wihaji.

Perubahan nomenklatur BKKBN menjadi Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga diharapkan dapat memperkuat peran lembaga ini dalam mengoordinasikan dan melaksanakan program-program pembangunan keluarga secara komprehensif, termasuk penanganan stunting dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di seluruh Indonesia.