Tarif Penerbangan Drone di Taman Nasional Bromo Melonjak Tajam: Polemik Regulasi dan Tuduhan Penutupan Ladang Ganja

Tarif Penerbangan Drone di Taman Nasional Bromo Melonjak Tajam: Polemik Regulasi dan Tuduhan Penutupan Ladang Ganja

Penemuan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) telah memicu kontroversi publik terkait kebijakan baru mengenai tarif penerbangan drone di area tersebut. Sejak November 2024, biaya penerbangan drone di taman nasional ini melonjak drastis menjadi Rp 2 juta, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2024 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kenaikan signifikan ini telah memicu spekulasi di masyarakat, dengan banyak yang menduga kebijakan ini sengaja diterapkan untuk membatasi pengawasan udara dan menyembunyikan keberadaan ladang ganja tersebut.

Namun, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni telah tegas membantah tuduhan tersebut. Beliau menyatakan bahwa justru drone yang dioperasikan oleh pihak Taman Nasional lah yang berperan penting dalam menemukan ladang ganja tersebut. Klaim ini menekankan bahwa kebijakan kenaikan tarif tidak bertujuan untuk menutup-nutupi aktivitas ilegal, melainkan memiliki tujuan yang berbeda.

Alasan Resmi Kenaikan Tarif dan Perspektif Berbagai Pihak:

Pemerintah, melalui Kasubdit Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Kawasan Konservasi KLHK Agung Nugroho, menjelaskan bahwa kenaikan tarif dimaksudkan untuk mengatur dan melegalkan penggunaan drone di kawasan konservasi. Agung menekankan prinsip dasar kebijakan ini adalah memberikan hak penggunaan fasilitas secara tertib dan resmi. Penjelasan ini dibarengi dengan pernyataan Kepala Bagian Tata Usaha TNBTS Septi Eka Wardan, yang menambahkan bahwa regulasi baru ini tidak hanya tentang tarif, tetapi juga bertujuan untuk menjaga kesakralan adat setempat dan keselamatan satwa.

Septi menjelaskan bahwa penggunaan drone akan dibatasi pada lokasi-lokasi tertentu untuk menghindari gangguan terhadap adat Tengger, satwa liar, dan kenyamanan pengunjung. Senada dengan itu, Humas Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Agus Denie, menyatakan bahwa kenaikan tarif memungkinkan peningkatan pengawasan dan pemeliharaan kestabilan ekosistem. Sistem yang baru diterapkan pun dinilai lebih praktis, dimana pengunjung cukup membeli tiket drone di pintu masuk tanpa perlu izin khusus.

Kontroversi dan Reaksi Publik:

Meskipun pemerintah telah memberikan penjelasan resmi, kebijakan kenaikan tarif tetap menuai kontroversi dan protes dari berbagai pihak. Pegiat drone Farra Rachmanda dari Komunitas Rumah Drone, misalnya, menilai tarif Rp 2 juta terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan layanan yang diberikan. Beliau menekankan bahwa sebelumnya, biaya izin terbang drone di taman nasional berkisar Rp 300.000, yang menurutnya masih masuk akal meskipun cenderung mahal. Farra juga menyoroti ketidakadilan kebijakan yang menyamakan tarif untuk penggunaan drone komersial dan pribadi, tanpa mempertimbangkan perbedaan kebutuhan dan tujuan penggunaan.

Farra berpendapat bahwa tarif baru yang sangat tinggi akan berdampak buruk pada berbagai kegiatan, khususnya untuk kegiatan non-komersial. Ia mencontohkan, untuk kegiatan open trip yang memanfaatkan drone, biaya Rp 2 juta ditambah biaya operasional lainnya akan membuat harga jasa menjadi tidak kompetitif dan sulit diterima pasar. Hal ini menunjukkan bahwa dampak kebijakan tersebut tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga berpotensi mengganggu sektor ekonomi terkait jasa fotografi dan videografi di kawasan tersebut. Perdebatan ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tersebut, dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan, aksesibilitas, dan dampak ekonomi yang lebih luas.