PTPN Akui Kegagalan Pengawasan, Pelanggaran Izin Pembangunan di Kawasan Puncak oleh PT Jaswita

PTPN Akui Kegagalan Pengawasan, Pelanggaran Izin Pembangunan di Kawasan Puncak oleh PT Jaswita

Dalam sebuah rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI pada Rabu (19 Maret 2025), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) mengakui adanya kegagalan dalam pengawasan terhadap mitra kerjanya, PT Jaswita, terkait pemanfaatan lahan di kawasan Puncak, Jawa Barat. Direktur Utama Holding PTPN III, Mohammad Abdul Ghani, secara langsung menyatakan bahwa PT Jaswita telah melakukan pelanggaran izin pembangunan yang signifikan.

Ghani menjelaskan bahwa PT Jaswita, berdasarkan izin awal dari Pemerintah Kota Bogor, hanya diizinkan membangun seluas 5.000 meter persegi. Namun, perusahaan tersebut telah memperluas area pembangunan hingga mencapai 21.000 meter persegi atau sekitar 2,1 hektare tanpa memperoleh izin dari Pemerintah Kabupaten Bogor. Perluasan ini merupakan pelanggaran serius terhadap ketentuan tata ruang dan aturan lingkungan yang berlaku di kawasan Puncak, yang merupakan daerah resapan air dengan regulasi ketat.

Ghani menekankan bahwa pelanggaran tersebut disebabkan oleh kegagalan PTPN dalam menjalankan pengawasan terhadap mitra kerjanya. "Kesalahan PTPN ini kami koreksi diri, mestinya PTPN juga tidak lepas tangan," ujarnya. Ia menjelaskan bahwa pembangunan yang dilakukan PT Jaswita telah melanggar Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yang membatasi pembangunan maksimal 30 persen dari total luas lahan untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan mencegah dampak negatif seperti peningkatan risiko banjir akibat alih fungsi lahan.

Pernyataan Ghani ini menyusul desakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kepada PTPN untuk menghentikan aktivitas alih fungsi lahan di kawasan Puncak. Dedi Mulyadi menghubungkan alih fungsi lahan tersebut dengan peningkatan risiko banjir yang melanda wilayah Jabodetabek. Ia memperingatkan bahwa upaya pembongkaran bangunan di area resapan air akan sia-sia jika PTPN tidak mengambil tindakan tegas untuk menghentikan praktek tersebut. Lebih lanjut, Dedi Mulyadi juga menyoroti kerjasama operasi (KSO) dengan tenant yang melakukan pembangunan di area resapan air dan penebangan pohon oleh Perhutani tanpa memperhitungkan aspek lingkungan sebagai faktor penyebab masalah ini.

Dedi Mulyadi mendesak PTPN dan Perhutani untuk melakukan analisis komprehensif, membandingkan keuntungan ekonomi dari alih fungsi lahan dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk menangani dampak banjir dan longsor. Ia juga menyerukan kolaborasi dan perencanaan yang lebih terpadu antara PTPN, Perhutani, dan pemerintah daerah untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Dengan kata lain, Dedi Mulyadi meminta perhitungan yang transparan dan kerjasama yang efektif untuk mengatasi masalah ini secara berkelanjutan. "Kami sibuk menangani, Anda sibuk menikmati. Untuk itu mari kita bangun langkah ini bersama," tegasnya.

Kejadian ini menyoroti pentingnya pengawasan yang ketat dalam pengelolaan lahan, terutama di kawasan strategis seperti Puncak yang memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Kegagalan PTPN dalam menjalankan pengawasan ini menimbulkan pertanyaan tentang mekanisme pengawasan yang berlaku dan perlunya reformasi untuk mencegah terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Langkah konkret dan komitmen bersama dari semua pihak terkait sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dan mencegah bencana alam di masa mendatang.