Revisi UU TNI Dinilai PBHI Abaikan Putusan MK Terkait Peradilan Militer

Revisi UU TNI Dinilai PBHI Abaikan Putusan MK Terkait Peradilan Militer

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyampaikan kritik tajam terhadap revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). PBHI menyoroti kegagalan revisi tersebut untuk mengubah Pasal 74 UU TNI yang mengatur perihal proses hukum personel TNI, khususnya terkait Pasal 65 yang mengatur kewenangan peradilan militer dan umum. Menurut PBHI, kegagalan ini berdampak pada pengabaian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyidik keterlibatan anggota TNI dalam kasus korupsi.

Sekretaris Jenderal PBHI, Gina Sabrina, dalam pernyataan resmi melalui kanal YouTube PBHI Nasional pada Rabu, 19 Maret 2025, menyatakan kekecewaan organisasi tersebut atas ketiadaan perubahan pada Pasal 74. Pasal ini, yang mengacu pada Pasal 65 UU TNI, menentukan kewenangan peradilan militer dan peradilan umum dalam menangani pelanggaran hukum yang dilakukan anggota TNI. PBHI berpendapat, Pasal 74 seharusnya direvisi untuk selaras dengan putusan MK Nomor 87/PUU/XXI/2023. Putusan MK tersebut secara tegas memberikan hak kepada KPK untuk melakukan penyidikan terhadap dugaan keterlibatan anggota TNI dalam tindak pidana korupsi, sejak tahap awal penyidikan.

"Kegagalan DPR untuk menyesuaikan revisi UU TNI dengan putusan MK ini sangat disayangkan," tegas Gina. Ia menekankan pentingnya revisi UU TNI untuk mengakomodasi putusan MK guna memperkuat supremasi hukum dan mencegah potensi impunitas bagi anggota TNI yang terlibat korupsi. Lebih lanjut, PBHI menilai bahwa keengganan untuk merevisi pasal tersebut justru menghambat reformasi peradilan militer dan melemahkan upaya penegakan hukum yang adil dan transparan. Keberadaan Pasal 74 dalam bentuknya saat ini, menurut PBHI, berpotensi menimbulkan keraguan dan interpretasi yang beragam mengenai kewenangan lembaga penegak hukum dalam menangani kasus yang melibatkan personel TNI.

Pasal 74 UU TNI berbunyi: "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan." Sementara itu, Pasal 65 ayat (2) UU TNI menyatakan: "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang." PBHI mendesak agar DPR RI segera merevisi pasal-pasal tersebut untuk memastikan konsistensi dengan putusan MK dan semangat reformasi peradilan militer.

Meskipun revisi UU TNI yang tengah diproses DPR mencakup beberapa perubahan penting, seperti penambahan usia pensiun prajurit dan pengaturan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga, PBHI menekankan bahwa hal tersebut tidak cukup tanpa adanya perubahan pada Pasal 74 dan integrasi putusan MK ke dalam UU TNI. DPR dijadwalkan akan mengesahkan RUU TNI pada Kamis, 20 Maret 2025. PBHI berharap DPR mempertimbangkan secara serius masukan dan kritik yang telah disampaikan, guna menghasilkan revisi UU TNI yang truly mendukung penegakan hukum dan keadilan.

Berikut beberapa poin penting perubahan UU TNI yang dibahas:

  • Penambahan Usia Dinas: Usulan peningkatan usia pensiun bintara dan tamtama menjadi 58 tahun, perwira menjadi 60 tahun, dan kemungkinan perpanjangan hingga 65 tahun untuk jabatan fungsional.
  • Penempatan Prajurit Aktif: Revisi aturan terkait penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga untuk mengakomodasi kebutuhan yang meningkat.

PBHI berharap revisi UU TNI ini tidak hanya berfokus pada aspek teknis keprajuritan, tetapi juga memperhatikan aspek penting penegakan hukum dan penghormatan terhadap putusan MK demi terciptanya supremasi hukum yang berkeadilan.