Aliansi Jogja Memanggil Tuntut Museumkan Dwi Fungsi ABRI: Sejarah Kelam yang Tak Boleh Terulang
Aliansi Jogja Memanggil Tuntut Museumkan Dwi Fungsi ABRI: Sejarah Kelam yang Tak Boleh Terulang
Di tengah sorotan publik terhadap Rancangan Undang-Undang TNI, Aliansi Jogja Memanggil menggelar aksi demonstrasi di depan Museum TNI AD Dharma Wiratama, Yogyakarta, pada Rabu (19 Maret 2025). Aksi tersebut bukan sekadar demonstrasi biasa, melainkan sebuah upaya untuk mengungkap dan mengingatkan publik akan sejarah kelam dwifungsi ABRI, yang menurut mereka, masih kurang terekspos di dalam museum tersebut. Pemilihan lokasi demonstrasi di depan museum, menurut Humas Aliansi Jogja Memanggil yang hanya diketahui dengan nama Bungkus, merupakan langkah strategis untuk mendekatkan pesan mereka kepada masyarakat luas.
Bungkus menjelaskan, demonstrasi ini bertujuan untuk "memuseumkan" dwifungsi ABRI. Ia berpendapat bahwa peran dan sejarah dwifungsi ABRI, yang sarat dengan pelanggaran HAM dan kekerasan, belum terdokumentasi secara memadai dalam museum-museum di Indonesia. "Sejarah kelam ini tidak boleh dilupakan," tegas Bungkus. "Dwifungsi ABRI yang menjadi bagian dari masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, telah meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Kekerasan yang terjadi pada masa itu, bukanlah catatan sejarah yang bisa diabaikan begitu saja." Ia menambahkan bahwa kekuasaan Soeharto yang didapat melalui kekerasan dan represi, tidak lepas dari sistem dwifungsi ABRI.
Bungkus memaparkan sejumlah peristiwa kelam yang terkait erat dengan dwifungsi ABRI, di antaranya tragedi Balibo, Santa Cruz, Talangsari, Rumoh Geudong, pemerkosaan perempuan Tionghoa, dan penculikan serta pembunuhan aktivis pada periode 1996-1998. Menurutnya, daftar tersebut hanyalah sebagian kecil dari catatan panjang pelanggaran HAM yang terjadi akibat sistem dwifungsi ABRI. "Ini bukan sekadar angka-angka statistik, melainkan nyawa manusia yang hilang," ujarnya dengan nada bergetar.
Aliansi Jogja Memanggil menyerukan agar sejarah dwifungsi ABRI diabadikan secara lengkap dan komprehensif di berbagai museum, termasuk museum nasional dan museum TNI. Mereka berharap museum dapat menjadi ruang edukasi publik untuk memahami konsekuensi buruk dari keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan sipil. "Dengan memahami sejarah ini," lanjut Bungkus, "kita berharap kejadian serupa tidak akan terulang kembali di masa depan. Militer harus kembali ke barak dan menjalankan tugasnya sebagai penjaga kedaulatan negara, bukan sebagai pemegang kekuasaan sipil."
Lebih lanjut, Aliansi Jogja Memanggil menekankan pentingnya pembelajaran dari masa lalu untuk mencegah terulangnya praktik-praktik otoritarianisme. Mereka berharap dengan "memuseumkan" dwifungsi ABRI, kesadaran publik terhadap bahaya keterlibatan militer dalam politik dapat ditingkatkan. Aksi demonstrasi ini, menurut mereka, merupakan bentuk partisipasi aktif warga negara dalam mengawal proses demokrasi dan memastikan bahwa sejarah kelam masa lalu tidak akan terulang kembali. Mereka berharap agar pemerintah dan lembaga terkait merespon tuntutan ini dengan serius dan memastikan sejarah dwifungsi ABRI didokumentasikan secara lengkap dan objektif di dalam museum.
Daftar Peristiwa yang Disebutkan oleh Aliansi Jogja Memanggil:
- Tragedi Balibo
- Tragedi Santa Cruz
- Tragedi Talangsari
- Tragedi Rumoh Geudong
- Pemerkosaan perempuan Tionghoa
- Penculikan dan pembunuhan aktivis (1996-1998)