Penghentian Pendanaan Media AS: Ancaman bagi Demokrasi dan Kekhawatiran Uni Eropa

Penghentian Pendanaan Media AS: Ancaman bagi Demokrasi dan Kekhawatiran Uni Eropa

Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menghentikan pendanaan sejumlah media internasional yang selama ini dibiayai negaranya telah menimbulkan gelombang kekhawatiran di Uni Eropa (UE). Langkah kontroversial ini dinilai berpotensi melemahkan upaya melawan penyebaran propaganda dari negara-negara rival dan mengancam pilar-pilar demokrasi global. UE memperingatkan bahwa penghentian pendanaan ini justru akan menguntungkan musuh-musuh demokrasi.

Juru bicara Komisi Eropa, Paula Pinho, dalam keterangan resminya, menekankan peran krusial media-media tersebut sebagai penyebar informasi kredibel dan penjaga nilai-nilai demokrasi. "Media-media ini merupakan benteng terakhir kebenaran, demokrasi, dan harapan bagi jutaan orang di seluruh dunia," tegas Pinho, mengutip pernyataan dari kantor berita AFP pada Selasa, 18 Maret 2025. Keputusan Trump ini berdampak langsung pada sejumlah lembaga penyiaran seperti Voice of America (VOA), Radio Free Asia (RFA), dan Radio Free Europe (RFE), termasuk Radio Farda (berbahasa Persia) dan Alhurra (berbahasa Arab), yang selama ini menjadi alternatif penting bagi informasi yang independen dan kritis di wilayah-wilayah yang terkekang kebebasan pers.

Pertemuan para menteri luar negeri UE di Brussels pada Senin, 17 Maret 2025, secara khusus membahas dampak serius penghentian pendanaan tersebut. Para menteri menyoroti peningkatan investasi dari negara-negara seperti Iran, China, dan Rusia dalam membangun dan memperkuat media-media mereka sendiri, yang berfungsi sebagai alat propaganda untuk menyebarkan narasi yang menguntungkan rezim otoriter. Situasi ini semakin memperparah kekhawatiran mengenai upaya-upaya disinformasi dan perang informasi global.

Menanggapi krisis ini, beberapa usulan telah muncul dari kalangan menteri luar negeri UE. Menteri Luar Negeri Ceko, Jan Lipavsky, misalnya, mengusulkan agar UE mengambil alih Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL), mengingat kantor pusat lembaga ini berlokasi di Praha sejak tahun 1995. Lipavsky menilai bahwa mempertahankan keberadaan RFE/RL sangat penting. "Jika demikian, masuk akal untuk mempertimbangkan cara menjamin kelangsungannya, termasuk kemungkinan pembelian," ujarnya. Biaya operasional RFE/RL diperkirakan mencapai sekitar 120 juta dollar AS (sekitar Rp 2 triliun) per tahun.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Polandia, Radoslaw Sikorski, menyarankan agar UE meningkatkan anggaran European Endowment for Democracy untuk membantu mendanai media-media yang terdampak. Namun, Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, Kaja Kallas, menekankan bahwa UE tidak dapat serta-merta menggantikan peran AS dalam pendanaan media ini. "Kami memiliki banyak organisasi lain yang juga membutuhkan dukungan," kata Kallas. Meski demikian, ia menambahkan bahwa terdapat dorongan kuat dari para menteri luar negeri untuk mencari solusi, sehingga UE tengah mengevaluasi berbagai opsi yang tersedia.

Situasi ini menyoroti tantangan serius dalam menjaga keberlangsungan media independen di tengah meningkatnya ancaman propaganda dan disinformasi global. Penghentian pendanaan AS menimbulkan pertanyaan mendasar tentang komitmen internasional terhadap kebebasan pers dan nilai-nilai demokrasi. Langkah-langkah yang diambil UE selanjutnya akan menjadi penentu penting dalam menentukan masa depan media independen dan pertarungan melawan narasi palsu di dunia internasional.