Restitusi Korban Herry Wirawan Terhambat, LPSK Hadapi Kendala Eksekusi Harta Rampasan

Restitusi Korban Herry Wirawan Terhambat, LPSK Hadapi Kendala Eksekusi Harta Rampasan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menghadapi kendala signifikan dalam upaya penyaluran restitusi kepada 13 santriwati korban pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan. Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, mengungkapkan kesulitan dalam mengeksekusi harta rampasan milik terpidana mati tersebut. Proses pelelangan aset Herry Wirawan, yang seharusnya memberikan dana restitusi kepada para korban, mengalami hambatan yang berkelanjutan sejak tahun 2022.

Kendala utama yang dihadapi LPSK adalah penarikan diri para pemenang lelang setelah mengetahui identitas terpidana dan latar belakang kasusnya yang mengerikan. Meskipun beberapa kali upaya pelelangan dilakukan, selalu berujung pada penarikan diri peserta lelang. Hal ini menyebabkan para korban hingga kini belum menerima dana restitusi yang telah diputuskan pengadilan. Sri Nurherwati menekankan betapa sulitnya proses ini, mengingat beberapa kali upaya pelelangan yang telah dilakukan, namun sia-sia karena para pemenang lelang membatalkan tawaran mereka setelah menyadari bahwa aset tersebut milik Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan terhadap 13 santriwati.

"Kesulitan untuk mengeksekusi harta rampasan ini sangat menghambat proses restitusi," jelas Sri Nurherwati dalam diskusi daring bertajuk "Tantangan Pemberian Restitusi" pada Rabu (19/3/2025). "Meskipun putusan pengadilan banding dan kasasi telah menetapkan perampasan harta Herry Wirawan untuk membayar restitusi sejumlah Rp 331 juta lebih, hambatan ini terus menghambat penyaluran dana tersebut kepada para korban." Awalnya, putusan pengadilan negeri membebankan biaya restitusi kepada negara, namun putusan banding dan kasasi kemudian mengubahnya menjadi perampasan harta milik Herry Wirawan.

Kasus ini menyoroti perlunya mekanisme yang lebih efektif dalam mengeksekusi harta rampasan dari terpidana, khususnya dalam kasus-kasus kejahatan seksual yang sensitif. LPSK berharap adanya solusi konkret untuk mengatasi hambatan ini, sehingga dana restitusi dapat segera disalurkan kepada para korban dan meringankan beban yang mereka alami. Kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan ini sendiri telah menyebabkan trauma mendalam bagi para korban, dan lambatnya proses restitusi semakin memperburuk situasi mereka. Proses hukum yang panjang dan berbelit-belit menunjukkan kelemahan dalam sistem peradilan dalam memberikan keadilan dan perlindungan yang efektif bagi korban kekerasan seksual.

Lebih lanjut, kasus ini juga membuka diskusi mengenai perlu adanya mekanisme yang lebih transparan dan efisien dalam proses pelelangan aset milik terpidana. Mungkin diperlukan kerjasama yang lebih erat antara LPSK, kejaksaan, dan pihak terkait lainnya untuk mengatasi masalah ini. Termasuk pula perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif kepada calon peserta lelang mengenai latar belakang aset yang dilelang agar tidak terjadi penarikan diri setelah lelang dimenangkan. Hal ini menjadi penting mengingat dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan oleh kasus ini sangat besar, dan restitusi merupakan salah satu bentuk keadilan yang harus segera diberikan kepada para korban.

Kasus Herry Wirawan, yang viral di akhir tahun 2021, mendapat perhatian luas dari publik dan Presiden Joko Widodo. Ia divonis hukuman mati setelah melalui proses hukum yang panjang, termasuk pengajuan kasasi yang ditolak. Kasus ini diajukan ke Polda Jawa Barat pada tahun 2021.