RUU TNI Menuai Kritik Keras: Ancaman terhadap Kebebasan Akademik dan Potensi Kembalinya Dwifungsi ABRI
RUU TNI: Ancaman terhadap Kebebasan Akademik dan Potensi Kembalinya Dwifungsi ABRI
Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah dibahas DPR RI menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk akademisi. Pakar hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi pelanggaran kebebasan akademik yang ditimbulkan oleh RUU tersebut. Dekan Fakultas Hukum UM Surabaya ini menekankan bahwa impunitas yang melekat pada TNI, baik secara langsung maupun tidak langsung, berpotensi menciptakan iklim represif di lingkungan kampus.
Wicaksana memaparkan sejumlah skenario yang mengancam kebebasan akademik. Ia mencontohkan potensi tindakan sweeping terhadap buku-buku yang dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila, atau pembubaran diskusi kampus yang dianggap mengancam keamanan nasional. Lebih jauh, ia menyoroti potensi serangan sistematis terhadap insan akademik, seperti perampasan buku dan pembubaran diskusi mengenai isu-isu sensitif, khususnya yang berkaitan dengan Papua. Tindakan-tindakan represif tersebut, menurutnya, akan semakin memperparah situasi kebebasan akademik di Indonesia.
Selain ancaman terhadap kebebasan akademik, RUU TNI juga dikhawatirkan akan melemahkan profesionalisme militer. Posisi TNI dalam jabatan sipil, sebagaimana tercantum dalam RUU, dinilai berisiko besar untuk mengembalikan dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru, sebuah masa kelam dalam sejarah demokrasi Indonesia. Kekhawatiran ini diperkuat oleh rencana penambahan batas usia pensiun TNI dan perluasan wewenang yang tertuang dalam RUU tersebut. Kritik ini semakin menguat mengingat proses pembahasan RUU TNI yang sebagian dilakukan secara tertutup, seperti pertemuan Komisi I DPR RI di Hotel Fairmont, Jakarta, yang memicu protes dari Koalisi Masyarakat Sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil telah melakukan audiensi dengan DPR RI pada Selasa (18/3/2025) untuk membahas isi RUU TNI. Meskipun Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengklaim telah tercapai titik temu dalam pertemuan tersebut, kecemasan publik tetap berlanjut. Parlemen sendiri berencana mengesahkan RUU TNI pada rapat paripurna Kamis (20/3/2025), menambah tekanan pada kelompok-kelompok yang menentang RUU kontroversial ini. Desakan untuk keterbukaan dan transparansi dalam pembahasan RUU ini menjadi sangat penting guna mencegah potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM yang lebih luas di masa mendatang. Kritik publik yang meluas ini menunjukkan betapa pentingnya mempertimbangkan secara matang setiap pasal dalam RUU TNI agar tidak mengancam pilar-pilar demokrasi, termasuk kebebasan akademik dan HAM.
Poin-poin penting yang perlu diperhatikan dalam RUU TNI:
- Potensi pelanggaran kebebasan akademik.
- Ancaman terhadap insan akademik melalui tindakan represif.
- Kemungkinan kembalinya dwifungsi ABRI.
- Perluasan wewenang TNI dan implikasinya terhadap sipil.
- Proses pembahasan RUU yang sebagian dilakukan secara tertutup.
- Penambahan batas usia pensiun TNI.
RUU TNI ini menjadi sorotan karena potensi implikasinya yang luas dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, perlu kajian mendalam dan partisipasi publik yang lebih luas untuk memastikan RUU ini tidak mengarah pada situasi yang mengancam demokrasi dan HAM di Indonesia.