Arus Investasi Global Bergeser: Emas Menjadi Primadona di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Arus Investasi Global Bergeser: Emas Menjadi Primadona di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi, terutama akibat fluktuasi suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), telah memicu pergeseran signifikan dalam aliran investasi global. Hal ini diungkapkan oleh Bank Indonesia (BI) dalam konferensi pers baru-baru ini di Jakarta. Aliran modal yang sebelumnya terkonsentrasi di Amerika Serikat kini menunjukkan pergeseran menuju aset-aset yang dianggap lebih aman, khususnya emas dan obligasi di negara maju dan berkembang. Kondisi ini mencerminkan sentimen investor yang cenderung menghindari risiko di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa pergeseran ini terlihat jelas pada berbagai instrumen investasi. Portofolio investasi saham, yang sebelumnya banyak tertuju ke AS, kini lebih tersebar ke negara-negara maju lainnya. Lebih mencolok lagi adalah peningkatan investasi pada komoditas emas. "Dulu hampir semua portofolio investasi, baik saham, Surat Berharga Negara (SBN), obligasi, maupun sekuritas lainnya, tertuju ke AS. Namun, belakangan ini terjadi pergeseran," ungkap Perry. Ia menambahkan bahwa pergeseran signifikan terlihat pada investasi di SBN dan obligasi, baik pemerintah maupun swasta, yang mulai beralih ke pasar negara berkembang (emerging market), meskipun masih dalam skala terbatas. Namun, yang paling menonjol adalah peningkatan investasi di emas.

Penurunan harga saham di AS dan kawasan Asia turut memperkuat tren ini. Kondisi ini mendorong investor untuk mencari alternatif investasi yang lebih stabil dan tahan terhadap gejolak ekonomi. Meskipun demikian, BI tetap optimis terhadap daya tarik instrumen aset keuangan Indonesia. "Kami masih percaya bahwa instrumen aset keuangan Indonesia, seperti SBN, saham, dan Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI), tetap menarik secara fundamental, didukung pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai 4,7% hingga 5,5% pada tahun 2025," tegas Perry.

Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menambahkan bahwa sentimen ekonomi global, khususnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah AS, memiliki dampak signifikan terhadap pasar saham global, termasuk Indonesia. Koreksi harga saham yang cukup besar sejak awal tahun 2025, menurut Destry, erat kaitannya dengan sentimen tersebut. "Saham sangat sensitif terhadap sentimen ekonomi global yang kemudian berdampak pada pasar domestik. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah AS, misalnya, akan memberikan dampak terhadap ekonomi secara keseluruhan," jelas Destry.

Pergeseran investasi global ini menyoroti pentingnya diversifikasi portofolio investasi bagi investor, baik individu maupun institusi. Emas, sebagai aset safe haven, menjadi pilihan yang menarik di tengah ketidakpastian ekonomi. Namun, investor juga perlu mempertimbangkan faktor fundamental ekonomi suatu negara sebelum memutuskan untuk berinvestasi di pasar negara berkembang.

Kesimpulan:

Pergeseran arus investasi global ke emas dan obligasi di negara-negara berkembang mencerminkan kekhawatiran investor terhadap ketidakpastian ekonomi global, terutama yang disebabkan oleh kebijakan moneter AS. Bank Indonesia tetap optimis terhadap prospek ekonomi Indonesia, namun investor perlu melakukan diversifikasi portofolio investasi untuk mengurangi risiko.