Rendahnya Tingkat Pengajuan Restitusi Korban Kekerasan Seksual: Tantangan dan Upaya Peningkatan Akses Keadilan

Rendahnya Tingkat Pengajuan Restitusi Korban Kekerasan Seksual: Tantangan dan Upaya Peningkatan Akses Keadilan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat adanya peningkatan signifikan dalam pengajuan restitusi dari tahun 2020 hingga 2024, menunjukkan kesadaran masyarakat yang tumbuh akan hak mereka untuk mendapatkan restitusi atas kerugian yang diderita akibat tindak pidana. Namun, data yang dipaparkan dalam diskusi daring “Tantangan Pemberian Restitusi” pada Rabu (19/3/2025) oleh Wakil Ketua LPSK, Siti Nurherwati, menunjukkan permasalahan yang kompleks, khususnya terkait rendahnya angka pengajuan restitusi oleh korban kekerasan seksual, meskipun kasus ini tergolong tinggi.

Salah satu kendala utama adalah masih adanya keraguan dan keengganan di kalangan korban kekerasan seksual untuk mengajukan restitusi. Siti Nurherwati menjelaskan bahwa banyak korban merasa pengajuan restitusi sama saja dengan 'mentransaksikan' pengalaman traumatis yang mereka alami, seolah-olah mereka 'menjual' penderitaan mereka. Persepsi ini menciptakan hambatan psikologis yang signifikan bagi korban untuk mengakses hak mereka atas keadilan restoratif. Selain itu, ketidakpahaman mengenai mekanisme dan tujuan restitusi juga menjadi faktor penghambat. Banyak korban belum memahami bahwa restitusi bertujuan untuk memperbaiki kerugian yang mereka alami, bukan untuk memperjualbelikan trauma mereka.

Data LPSK menunjukkan bahwa permohonan restitusi tertinggi pada tahun 2024 mencapai 2.810 permohonan di bulan September, meliputi berbagai jenis tindak pidana, termasuk pencucian uang (TPPU), investasi ilegal, dan kekerasan seksual. Menariknya, permohonan restitusi yang mendominasi justru berasal dari korban TPPU (3.035 permohonan), diikuti oleh kasus kekerasan seksual anak, yang menunjukkan peningkatan signifikan dan menjadi kelompok paling rentan. LPSK sedang mengembangkan metode perhitungan kerugian untuk korban kekerasan seksual anak, termasuk memperhitungkan biaya perawatan sejak bayi masih dalam kandungan hingga usia 18 tahun.

Dalam upaya mengatasi permasalahan ini, LPSK terus berupaya memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai hak atas restitusi dan mekanisme pengajuannya. Pihaknya juga menekankan pentingnya peran hakim dalam memberikan informasi kepada korban tentang hak mereka untuk mengajukan restitusi, baik sebelum maupun sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hakim Agung Ainal Mardhiah, dalam diskusi yang sama, menjelaskan tata cara pengajuan restitusi sesuai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2022, yang antara lain mengatur pengajuan permohonan restitusi sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, melalui LPSK, penyidik, penuntut umum, atau langsung oleh korban.

Lebih lanjut, Ainal Mardhiah menjelaskan kewajiban hakim untuk mencantumkan pernyataan penerimaan atau penolakan permohonan restitusi, alasannya, dan besaran restitusi yang harus dibayarkan terdakwa (atau orang tua terdakwa jika terdakwa adalah anak) dalam putusannya. Ia juga menegaskan bahwa restitusi tidak menghapus hak korban untuk mengajukan gugatan perdata, khususnya jika terdakwa dibebaskan atau terdapat keraguan atas kerugian yang dialami korban yang belum atau belum sepenuhnya dipertimbangkan dalam proses permohonan restitusi.

Tantangan ke depan bagi LPSK dan lembaga terkait adalah bagaimana terus meningkatkan aksesibilitas dan pemahaman masyarakat akan hak restitusi, terutama bagi korban kekerasan seksual. Upaya edukasi yang komprehensif, pendampingan psikologis bagi korban, serta penguatan kerjasama antar lembaga penegak hukum sangat diperlukan untuk memastikan bahwa korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan yang komprehensif dan memperoleh restitusi yang layak sebagai bentuk pemulihan atas kerugian yang diderita.