Jejak Kuliner Morisco: Mengungkap Rahasia Dapur Muslim di Granada Pasca-Penaklukan
Jejak Kuliner Morisco: Mengungkap Rahasia Dapur Muslim di Granada Pasca-Penaklukan
Granada, jantung Andalusia, menyimpan lapisan sejarah yang kaya dan kompleks. Sebagai kota terakhir di Al-Andalus yang jatuh ke tangan pasukan Katolik pada 1492, Granada menyaksikan peralihan kekuasaan yang dramatis dan transformasi budaya yang mendalam. Meskipun penduduk Muslim, yang kemudian dikenal sebagai Morisco, dipaksa memeluk agama Katolik, jejak praktik dan tradisi mereka, termasuk kebiasaan kuliner, tetap bertahan secara rahasia selama beberapa dekade. Temuan arkeologi terbaru di situs penggalian Cartuja, di pinggiran Granada modern, mengungkap bukti nyata mengenai kelangsungan budaya kuliner Morisco ini, memberikan wawasan baru tentang kehidupan dan perlawanan budaya masyarakat Andalusia pasca-penaklukan.
Penggalian yang dilakukan menjelang pembangunan kampus Universitas Granada di area Cartuja, yang dulunya merupakan kawasan permukiman, telah menghasilkan temuan yang luar biasa. Di antara reruntuhan bangunan-bangunan abad pertengahan, para arkeolog menemukan sebuah sumur yang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Di dalam sumur inilah ditemukan sisa-sisa arkeologi yang memberikan gambaran yang kaya mengenai praktik kuliner rumah tangga Morisco di abad ke-16. Temuan tersebut, yang dikaji oleh tim arkeolog internasional yang terdiri dari Aleks Pluskowski, Guillermo García-Contreras Ruiz, dan Marcos García García, mengungkap pola konsumsi makanan yang secara signifikan berbeda dengan kebiasaan makan masyarakat Katolik pada masa itu.
Analisa tulang hewan yang ditemukan di sumur menunjukkan dominasi tulang domba, dengan jumlah kecil tulang sapi. Usia hewan yang relatif tua, didominasi jantan yang dikebiri, dan keberadaan bagian tubuh yang kaya daging menunjukkan bahwa daging tersebut berasal dari pasar, bukan hasil ternak rumahan. Hal ini mengindikasikan akses ke jaringan perdagangan dan pengolahan makanan yang terorganisir. Lebih jauh lagi, tidak ditemukannya tulang babi, hewan yang diharamkan dalam agama Islam, merupakan indikator kuat dari praktik kuliner yang konsisten dengan kebiasaan diet Muslim.
Temuan keramik juga mendukung hipotesis ini. Keberadaan sejumlah besar ataifores, mangkuk besar yang digunakan untuk makan bersama, menunjukkan praktik makan komunal yang khas dalam budaya Andalusia sebelum penaklukan. Berbeda dengan kebiasaan makan individualistis yang diadopsi oleh rumah tangga Katolik, yang menggunakan bejana yang lebih kecil, ataifores mencerminkan identitas budaya dan sosial yang kuat.
Kontras antara praktik kuliner Morisco dan kebijakan rezim Katolik semakin mencolok. Pemerintah Katolik, melalui Inkuisisi, mencoba keras untuk membasmi praktik budaya Muslim, termasuk kebiasaan makan. Konsumsi daging babi, sebagai simbol penolakan terhadap larangan agama Islam, dipromosikan secara agresif. Temuan di Cartuja menunjukkan perlawanan halus, tetapi nyata, terhadap upaya asimilasi budaya ini. Keluarga Morisco mempertahankan, setidaknya sebagian, tradisi kuliner mereka dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di bawah pengawasan ketat dari otoritas Katolik.
Kesimpulannya, penggalian di Cartuja memberikan bukti arkeologi yang substansial mengenai keberlangsungan praktik kuliner Morisco di Granada pasca-penaklukan. Temuan ini bukan hanya sekadar sisa-sisa makanan, tetapi cerminan dari ketahanan budaya, identitas, dan perlawanan halus yang dilakukan oleh masyarakat Morisco dalam menghadapi tekanan politik dan agama yang kuat. Sisa-sisa dari ataifores, tulang domba, dan ketiadaan daging babi menjadi saksi bisu akan kisah yang lebih besar tentang adaptasi, resistensi, dan kelanjutan tradisi di tengah perubahan besar. Penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan untuk mengungkap lebih banyak detail mengenai aspek kehidupan Morisco ini dan lebih memahami dinamika interaksi budaya di Spanyol pada masa itu.