Korupsi Proyek Pabrik Gula PTPN XI: Dua Mantan Direksi Ditetapkan Tersangka, Negara Rugi Rp 782 Miliar
Korupsi Proyek Pabrik Gula PTPN XI: Dua Mantan Direksi Ditetapkan Tersangka, Negara Rugi Rp 782 Miliar
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) resmi menetapkan dua mantan direksi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengembangan dan modernisasi Pabrik Gula Djatiroto. Kasus yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 782 miliar ini melibatkan Dolly Pulungan, mantan Direktur Utama PTPN XI, dan Aris Toharisman, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PTPN XI. Penetapan tersangka tersebut diumumkan oleh Irjen Cahyono Wibowo, Ka Korps Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri, pada Rabu (19/3/2025).
Proses penyidikan yang panjang telah dilakukan, termasuk pemeriksaan terhadap 55 saksi dan empat ahli. Gelar perkara yang telah dilakukan sebelumnya menjadi dasar penetapan tersangka kedua mantan direksi tersebut. Irjen Cahyono menegaskan bahwa berkas perkara sudah rampung dan siap dilimpahkan ke Kejaksaan untuk proses selanjutnya. "Penetapan tersangka dilakukan setelah proses panjang penyidikan dan gelar perkara. Berkas perkara kini telah lengkap dan siap dilimpahkan ke Kejaksaan untuk tahap dua," ujar Irjen Cahyono.
Modus operandi yang dilakukan kedua tersangka terbilang rumit dan melibatkan aliran dana ke luar negeri. Penyidik menemukan indikasi kuat Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dimana pembayaran proyek diduga dimanipulasi. Pembayaran dilakukan langsung oleh PTPN XI melalui Letter of Credit (LC) ke rekening sebuah perusahaan di Singapura. Hal ini menunjukkan adanya upaya untuk menyembunyikan jejak aliran dana hasil korupsi.
Lebih lanjut, Irjen Cahyono menjelaskan sejumlah pelanggaran yang terjadi dalam proyek tersebut. Proyek yang menelan biaya miliaran rupiah ini diduga dikerjakan tanpa studi kelayakan yang memadai. Ada pula dugaan manipulasi dalam proses lelang, dimana Aris Toharisman diduga mengintervensi panitia lelang untuk meloloskan konsorsium tertentu (KSO HEU) meskipun tidak memenuhi persyaratan, seperti tidak memiliki surat dukungan bank dan workshop di Indonesia.
Selain itu, terdapat dugaan perubahan isi kontrak yang merugikan negara. Perubahan tersebut mencakup penambahan uang muka menjadi 20% (dari seharusnya 15%) dan penambahan pembayaran melalui Letter of Credit ke rekening luar negeri. Proses procurement juga diduga sarat dengan penyimpangan yang menguntungkan pihak penyedia jasa. Bahkan, kontrak perjanjian ditandatangani tidak sesuai dengan tanggal yang tertera, menunjukkan adanya upaya untuk mengaburkan kronologi kejadian. Jaminan uang muka dan jaminan pelaksanaan juga kadaluarsa dan tidak pernah diperpanjang, menambah panjang daftar penyimpangan dalam proyek ini.
Akibat dari berbagai penyimpangan tersebut, proyek Pabrik Gula Djatiroto nyaris mangkrak, sementara uang negara telah terbayarkan hampir 90% kepada kontraktor. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, total kerugian negara akibat korupsi ini mencapai Rp 570.251.119.814,78 dan USD 12.830.904,40 (sekitar Rp 211 miliar), mengakibatkan total kerugian negara mencapai Rp 782 miliar.
Polri berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus ini dan memastikan para pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya. Proses hukum akan terus berlanjut hingga semua pihak yang terlibat mendapatkan hukuman yang setimpal atas kerugian yang telah ditimbulkan kepada negara. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan dan transparansi dalam setiap proyek pemerintah, guna mencegah terjadinya korupsi dan kerugian keuangan negara yang serupa di masa mendatang.