Penutupan Plengkung Gading: Langkah Konservasi untuk Warisan Sejarah Yogyakarta

Penutupan Plengkung Gading: Upaya Pelestarian Warisan Sejarah Yogyakarta

Penutupan Plengkung Gading, salah satu gerbang bersejarah Keraton Yogyakarta, yang resmi diberlakukan pada 15 Maret 2025, menandai babak baru dalam upaya pelestarian situs bersejarah ini. Keputusan penutupan, yang diambil setelah masa uji coba rekayasa lalu lintas satu arah, didasarkan pada pertimbangan mendalam akan kondisi fisik bangunan yang semakin rentan dan potensi risiko keamanan bagi masyarakat. Langkah ini bukan sekadar pembatasan akses, melainkan sebuah strategi konservasi untuk melindungi warisan budaya tak ternilai bagi Yogyakarta dan Indonesia.

Sejarah Plengkung Gading: Benteng Pertahanan dan Simbol Kerajaan

Plengkung Gading, yang juga dikenal sebagai Plengkung Nirbaya, merupakan salah satu dari lima gerbang utama yang mengelilingi Keraton Yogyakarta, dibangun sekitar tahun 1778 Masehi. Gerbang ini merupakan bagian integral dari sistem pertahanan keraton yang kokoh. Berdasarkan catatan sejarah dan buku Tamansari karya Drs. Djoko Soekiman dkk, benteng keraton berbentuk persegi empat dengan sisi sepanjang satu kilometer, terdiri dari dua lapis tembok tebal yang dipisahkan oleh lapisan tanah. Setiap sudut benteng dilengkapi dengan gardu pengintaian, disebut tulaktala. Di depan Plengkung Gading, terdapat jembatan angkat (kreteg gantung) yang melintasi parit dari Sungai Winongo, yang hanya diturunkan pada pukul 06.00 hingga 18.00. Nama 'Nirbaya', yang berarti 'bebas dari bahaya', melambangkan fungsi gerbang ini sebagai akses utama bagi raja dalam menjalankan ritual penting, termasuk perjalanan terakhir menuju pemakaman Imogiri.

Makna simbolis Plengkung Gading juga terungkap dalam tembang Mijil Jawa Kuno:

Ing Mataram betengira inggil Ngubengi kadaton Plengkung lima mung papat mengane Jagang jero, toyanira wening Tur pinacak saji Gayam turut lurung.

Artinya:

Mataram berbenteng tinggi Mengitari istana Berpintu gerbang lima, hanya empat yang terbuka Berparit dalam, airnya jernih Dan berpagar kayu runcing Pohon gayam di sepanjang jalan.

Evolusi dan Tantangan Modern

Perubahan signifikan terjadi pada sistem pertahanan Keraton Yogyakarta, terutama pada parit yang mengelilingi benteng. Parit selebar 10 meter dan sedalam 3 meter, yang dulunya dilalui air dari Sungai Winongo, secara bertahap ditimbun dan dialihfungsikan menjadi jalan raya pada tahun 1935. Proses perubahan ini, meskipun rinciannya tidak tercatat secara detail, menandai berakhirnya fungsi pertahanan tradisional keraton.

Selama beberapa dekade, Plengkung Gading berfungsi sebagai akses lalu lintas umum, menjadi jalur vital bagi warga dan pengendara. Namun, peningkatan kepadatan lalu lintas dan kondisi fisik bangunan yang terus mengalami degradasi akibat usia dan tekanan lalu lintas, mengharuskan pemerintah mengambil langkah-langkah konservasi yang lebih tegas. Uji coba sistem satu arah yang diterapkan pada 10 Maret 2025, yang membatasi akses masuk melalui Plengkung Gading, terbukti tidak cukup efektif dalam melindungi bangunan bersejarah ini.

Penutupan Sebagai Langkah Konservasi Terakhir

Hasil evaluasi Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Energi, dan Sumber Daya Mineral (PUPESDM) DIY, menunjukkan bahwa kondisi Plengkung Gading lebih kritis daripada yang diperkirakan. Usia bangunan, tekanan berkelanjutan dari lalu lintas, dan faktor lingkungan mempercepat kerusakan struktur. Dinas Kebudayaan DIY menyimpulkan bahwa upaya mitigasi sebelumnya tidak cukup untuk menjamin keselamatan bangunan dan pengguna jalan. Penutupan total Plengkung Gading, meskipun berdampak pada aksesibilitas masyarakat, dinilai sebagai satu-satunya langkah efektif untuk mencegah keruntuhan bangunan dan melindungi warisan sejarah Yogyakarta untuk generasi mendatang.

Langkah penutupan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pelestarian situs bersejarah dan mendorong upaya konservasi yang lebih terpadu dan berkelanjutan.