Mahasiswa Cabut Gugatan UU Pemilu di MK: Persyaratan Domisili Caleg Tak Diuji
Mahasiswa Cabut Gugatan UU Pemilu di MK: Persyaratan Domisili Caleg Tak Diuji
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 18 Maret 2025, telah resmi menutup sidang perkara uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Aliansi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang. Sidang tersebut, bernomor 7/PUU-XXIII/2025, berakhir setelah para pemohon resmi mencabut permohonan mereka. Pencabutan permohonan ini disampaikan langsung oleh para pemohon dalam sidang panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, didampingi Hakim MK Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. MK sebelumnya telah menerima surat pencabutan permohonan tersebut pada 15 Maret 2025.
Salah satu pemohon menjelaskan alasan pencabutan gugatan tersebut. Meskipun mereka telah berupaya menyempurnakan permohonan, waktu yang diberikan MK, yakni dua minggu, dinilai terlalu singkat untuk memenuhi seluruh persyaratan. Dengan demikian, upaya untuk menguji Pasal 240 ayat (1) huruf c UU Pemilu terkait persyaratan domisili calon anggota legislatif (caleg) pun berakhir. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyatakan bahwa sidang telah selesai dan ditutup setelah para pemohon memberikan klarifikasi terkait pencabutan permohonan mereka. Ia menyampaikan apresiasi atas kehadiran para pemohon dalam proses klarifikasi tersebut.
Gugatan awal diajukan karena kekhawatiran para mahasiswa atas tingginya persentase caleg yang berdomisili di luar daerah pemilihan (dapil) mereka. Berdasarkan data yang mereka kumpulkan, pada Pemilu 2019-2024, terdapat proporsi signifikan caleg yang tidak berdomisili di dapilnya. Data yang dirujuk berasal dari laman KPU per 28 September 2018, menunjukkan 3.387 atau 59,53 persen caleg berdomisili di luar dapil. Pada Pemilu 2024, angka tersebut bahkan lebih tinggi lagi, dengan 5.701 caleg (57,5 persen dari total 9.917 caleg) tinggal di luar dapilnya. Lebih memprihatinkan lagi, sebanyak 3.605 caleg (36,4 persen) tidak hanya berdomisili di luar dapil, tetapi juga tidak lahir di kabupaten/kota di dapil tersebut. Bahkan, terdapat 1.294 caleg (13 persen) yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan dapilnya, baik dari segi domisili, tempat lahir, maupun riwayat pendidikan.
Para pemohon juga membandingkan situasi ini dengan persyaratan pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang mewajibkan calon berdomisili di wilayah dapil yang bersangkutan. Mereka berharap MK dapat menafsirkan ulang Pasal 240 ayat (1) huruf c UU Pemilu agar lebih menekankan pentingnya keterkaitan caleg dengan dapilnya, dengan mengacu pada kriteria seperti minimal 5 tahun bertempat tinggal di dapil dan dibuktikan dengan KTP. Namun, dengan pencabutan permohonan ini, upaya tersebut tidak akan dilanjutkan. Keputusan ini mengakhiri proses hukum dan meninggalkan pertanyaan tentang bagaimana memastikan representasi yang lebih efektif dari para wakil rakyat di daerah pemilihannya.
Meskipun gugatan dicabut, perdebatan seputar representasi dan domisili caleg di dapil tetap menjadi isu penting yang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan penyelenggara Pemilu.