Anggota DPR Soroti Anjloknya Profesionalisme Polri, Imbas Kasus Pelanggaran yang Merebak

Anjloknya Profesionalisme Polri: Kekhawatiran DPR dan Jarak yang Memanjang dengan Masyarakat

Anggota Komisi III DPR RI, Rikwanto, menyoroti penurunan signifikan profesionalisme anggota Polri belakangan ini. Pernyataan tersebut disampaikan Rikwanto dalam rapat Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/3/2025). Rikwanto menilai, maraknya kasus pelanggaran yang dilakukan oleh personel Polri telah menciptakan jurang pemisah antara institusi kepolisian dengan masyarakat yang seharusnya terjalin erat. Ia menggarisbawahi adanya 'missing link' – sebuah celah yang mengikis kepercayaan publik terhadap Polri.

Rikwanto menyampaikan kekhawatirannya ini setelah menyimak paparan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri, Komjen Mohammad Fadil Imran, mengenai tugas dan fungsi Baharkam sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Ia mengakui paparan Fadil Imran memiliki nuansa akademis dan profesional yang tinggi. Namun, di sisi lain, Rikwanto, yang juga seorang purnawirawan Polri, menekankan adanya kontras yang mencolok antara gambaran ideal tersebut dengan realita di lapangan yang dipenuhi beragam isu pelanggaran yang beredar luas di media sosial dan media massa. Ia melihat adanya diskrepansi antara citra profesional yang diusung Polri dan persepsi masyarakat yang terbebani oleh berbagai kasus pelanggaran tersebut.

"Missing link itu artinya, yang tersiar di media massa dan medsos adalah citra Polri yang penuh pelanggaran, jauh dari masyarakat, dan kurang dekat dengan kebutuhan masyarakat," tegas Rikwanto. Ia menyoroti pentingnya kesenjangan antara teori dan praktik di lapangan. Meskipun Rikwanto menyambut positif paparan rencana dan harapan yang disampaikan Fadil Imran, ia mengingatkan bahwa keberhasilan implementasi rencana tersebut sangat bergantung pada individu-individu yang menjalankannya di lapangan.

"The man behind the gun," ujar Rikwanto. "Semuanya bergantung pada personel di lapangan, apakah mereka memiliki kemampuan, kemauan, dan integritas untuk menerapkan aturan dan standar profesionalisme yang telah ditetapkan. Keberhasilan Polri dalam mengembalikan kepercayaan publik bergantung sepenuhnya pada kemampuan personelnya untuk merealisasikan rencana dan harapan tersebut di lapangan." Rikwanto menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen, pelatihan, dan pengawasan internal Polri agar dapat meminimalisir angka pelanggaran dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Ia berharap agar Polri dapat segera menutup celah yang ada dan mengembalikan kepercayaan masyarakat sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Rikwanto juga menyoroti perlunya peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri. Ia berharap agar setiap kasus dapat ditangani secara adil dan transparan, sehingga dapat memulihkan kepercayaan masyarakat dan mencegah terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Kepercayaan publik yang tergerus, menurut Rikwanto, bukan hanya akan berdampak pada citra Polri, tetapi juga pada efektivitas kinerja Polri dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat.

Ia menyimpulkan bahwa pemulihan citra dan profesionalisme Polri membutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh jajaran kepolisian, dimulai dari perubahan mindset dan komitmen untuk mematuhi kode etik profesi, hingga peningkatan kualitas pengawasan dan penegakan hukum internal. Proses ini, menurutnya, merupakan langkah krusial untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan memperkuat posisi Polri sebagai institusi yang dihormati dan dipercaya.