Polemik Laporan Polisi Terhadap Aktivis Penolak Revisi UU TNI: Kriminalisasi atau Upaya Pembungkaman?

Polemik Laporan Polisi Terhadap Aktivis Penolak Revisi UU TNI: Kriminalisasi atau Upaya Pembungkaman?

Dua aktivis, Andrie Yunus dan Javier Maramba Pandin, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh seorang petugas keamanan Hotel Fairmont, RYK, menyusul aksi protes mereka terhadap pembahasan tertutup Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) di hotel tersebut pada 15 Maret 2025. Laporan polisi bernomor LP/B/1876/III/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA tersebut menuduh keduanya melakukan sejumlah pelanggaran, termasuk Pasal 172 KUHP (menghina penguasa), Pasal 212 KUHP (perlawanan terhadap petugas), Pasal 217 KUHP (penghinaan terhadap pengadilan), Pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan), Pasal 503 KUHP (pencemaran nama baik), dan Pasal 207 KUHP (perusakan). Kecepatan proses hukum ini, termasuk panggilan klarifikasi yang terkesan terburu-buru, menimbulkan kecurigaan dari pihak aktivis dan Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD).

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), yang mendampingi Andrie dan Javier, menyatakan penolakan terhadap panggilan klarifikasi tersebut dengan alasan prosedur yang tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Arif Maulana dari TAUD menekankan bahwa undangan klarifikasi yang diberikan hanya selang sehari setelah laporan diterima, tidak memenuhi tenggat waktu tiga hari kerja sebagaimana diatur dalam KUHAP. Gema Gita Persada dari TAUD juga mempertanyakan urgensi penyelidikan yang terkesan terburu-buru, terutama jika dibandingkan dengan lambannya penanganan laporan dari masyarakat sipil pada umumnya. Gema menyoroti adanya kecenderungan kepolisian untuk lebih cepat merespon laporan terhadap aktivis dan kelompok masyarakat sipil dibandingkan dengan laporan masyarakat biasa, menunjukkan adanya potensi bias dalam penegakan hukum. Hal ini menunjukkan adanya dugaan praktik pembungkaman atas suara kritis masyarakat.

TAUD menilai laporan polisi tersebut sebagai bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yakni gugatan hukum yang dirancang untuk membungkam partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan. Arif Maulana menganggap laporan tersebut sebagai upaya kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi, khususnya dalam konteks pengawasan terhadap proses pembentukan regulasi, terutama RUU TNI yang dibahas secara tertutup. Ia menyoroti kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam pembahasan RUU tersebut, yang kontradiktif dengan semangat efisiensi anggaran pemerintah. Erwin Natasomal Oemar, anggota TAUD lainnya, bahkan melihat laporan ini sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian publik dari kontroversi seputar RUU TNI dan memperkuat sinyalemen tentang semakin memburuknya kondisi demokrasi di Indonesia, yang ia sebut sebagai “Indonesia Gelap”.

Kesimpulannya, kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang independensi penegakan hukum dan potensi kriminalisasi terhadap aktivis yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Kecepatan proses hukum yang terkesan terburu-buru, serta dugaan adanya bias dalam penanganan laporan polisi, membuat publik patut mempertanyakan apakah laporan tersebut merupakan upaya yang sah untuk menegakkan hukum atau justru merupakan alat untuk membungkam suara-suara kritis dalam masyarakat. Perkembangan kasus ini perlu terus dipantau untuk memastikan proses hukum berjalan secara adil dan transparan, serta untuk melindungi hak-hak fundamental warga negara dalam berpendapat dan berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi.