Perampasan Aset: Solusi Lebih Efektif Ketimbang Penjara Terpencil untuk Memberantas Korupsi di Indonesia?

Perampasan Aset Dinilai Lebih Efektif Ketimbang Penjara Terpencil dalam Memberantas Korupsi

Gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk membangun penjara khusus koruptor di pulau terpencil telah menuai beragam reaksi. Meskipun langkah tersebut diapresiasi sebagai bentuk komitmen tegas dalam memerangi korupsi, Ahli Hukum Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Hardjuno Wiwoho, menganggap pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai solusi yang jauh lebih efektif dan berkelanjutan. Prof. Hardjuno menekankan bahwa penjara terpencil, meskipun memberikan efek penjeraan jangka pendek, tidak menjamin penurunan praktik korupsi secara signifikan. Ia berpendapat, koruptor yang telah menjalani hukuman penjara masih dapat menikmati hasil kejahatan mereka jika aset-aset yang diperoleh secara ilegal tidak dirampas.

Menurutnya, RUU Perampasan Aset menawarkan solusi yang lebih komprehensif. RUU ini, jika disahkan, akan memberikan kekuatan hukum bagi pemerintah untuk menyita aset-aset yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Keunggulan utama RUU ini adalah mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan penyitaan aset tanpa menunggu putusan pengadilan pidana. Sistem ini, yang telah diadopsi oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat (Civil Asset Forfeiture) dan Inggris (Proceeds of Crime Act), memungkinkan penyitaan aset sejak tahap penyidikan, asalkan terdapat bukti yang cukup kuat terkait keterkaitan aset tersebut dengan tindak pidana korupsi. Lebih lanjut, Prof. Hardjuno juga menyoroti pentingnya penerapan konsep illicit enrichment di Indonesia, dimana pejabat publik yang hartanya meningkat secara tidak wajar dapat langsung diperiksa dan asetnya disita jika tidak mampu membuktikan sumber kekayaannya secara sah.

Prof. Hardjuno menjelaskan bahwa efek jera yang sesungguhnya terletak pada pemiskinan koruptor melalui perampasan aset hasil kejahatan. Hukuman penjara semata, menurutnya, tidak cukup untuk mencegah dan memberantas korupsi. Banyak kasus menunjukkan bahwa koruptor masih hidup nyaman setelah bebas dari penjara karena aset-aset mereka tetap utuh. RUU Perampasan Aset, dengan demikian, menjadi instrumen penting untuk memutus mata rantai korupsi dan menciptakan efek jera yang lebih nyata. Keberhasilan implementasi RUU ini akan sangat bergantung pada komitmen penegak hukum dalam melakukan penyidikan yang transparan dan akuntabel, serta memastikan proses perampasan aset berlangsung secara adil dan sesuai prosedur.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menyatakan keprihatinannya terhadap maraknya korupsi di Indonesia dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya guru, dokter, dan petani. Beliau mengungkapkan rencana pembangunan penjara khusus untuk koruptor di lokasi terpencil sebagai upaya untuk mencegah pelarian dan memberikan efek jera. Meskipun gagasan ini patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen yang kuat, penting untuk diingat bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan multi-faceted yang komprehensif, termasuk perbaikan sistem hukum, peningkatan transparansi, dan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Oleh karena itu, pengesahan RUU Perampasan Aset dapat menjadi langkah strategis yang perlu segera direalisasikan untuk melengkapi strategi pemberantasan korupsi yang lebih efektif.

Kesimpulan: Meskipun gagasan membangun penjara terpencil untuk koruptor mendapat dukungan, pengesahan RUU Perampasan Aset dinilai sebagai langkah yang lebih efektif dan fundamental dalam memberantas korupsi di Indonesia. Perampasan aset hasil kejahatan akan memberikan efek jera yang lebih nyata dan berkelanjutan dibandingkan dengan hukuman penjara semata.