Kendala Bea Masuk Hambat Peluncuran Bus Listrik Mercedes-Benz di Indonesia

Kendala Bea Masuk Hambat Peluncuran Bus Listrik Mercedes-Benz di Indonesia

Daimler Commercial Vehicles Indonesia (DCVI) hingga saat ini masih menghadapi tantangan dalam menghadirkan bus listrik Mercedes-Benz ke pasar Indonesia. Kendala utama yang dihadapi adalah perbedaan tarif bea masuk yang signifikan antara impor dari negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia, seperti Tiongkok, dan negara-negara di Eropa, termasuk Jerman, negara asal Mercedes-Benz. Hal ini diungkapkan oleh Naeem Hassim, Presiden Direktur DCVI, dalam pernyataan resminya di Jakarta pada Senin, 17 Maret 2025.

Naeem menjelaskan bahwa perbedaan tarif ini disebabkan oleh belum adanya perjanjian bilateral perdagangan yang komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa. Akibatnya, bus listrik impor dari Jerman dikenakan bea masuk yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bus listrik impor dari negara-negara yang memiliki kesepakatan perdagangan preferensial dengan Indonesia. Kondisi ini jelas menghambat daya saing produk Mercedes-Benz di pasar dalam negeri dan menjadi penghambat utama bagi rencana peluncuran bus listrik tersebut.

Meskipun ada opsi untuk merakit bus listrik Mercedes-Benz di Indonesia, DCVI masih mempertimbangkannya secara matang. Naeem menekankan bahwa pengembangan industri kendaraan listrik di Indonesia masih berada pada tahap awal. Ekosistem pendukung, termasuk infrastruktur pengisian daya (charging station) yang memadai, belum sepenuhnya terbangun. Minimnya infrastruktur ini berdampak pada terbatasnya potensi pasar bus listrik di Indonesia saat ini.

"Saat ini, pasar masih terbatas karena ekosistemnya belum siap. Jika pemerintah serius membangun ekosistem ini, maka akan banyak merek yang berinvestasi dan memasarkan ratusan bus listrik di Indonesia," ungkap Naeem. Hal ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan industri kendaraan listrik di Indonesia.

Sebagai contoh, operator transportasi umum Transjakarta telah menunjukkan inisiatif yang patut diacungi jempol. Mereka telah membangun infrastruktur pengisian daya sendiri di pool bus mereka, tanpa mengandalkan sepenuhnya dukungan pemerintah. Langkah ini menunjukkan bagaimana pihak swasta dapat berperan aktif dalam membangun ekosistem kendaraan listrik meskipun tantangan masih ada. Namun, diperlukan upaya yang lebih besar dan komprehensif dari pemerintah untuk mempercepat pengembangan ekosistem ini agar industri kendaraan listrik, termasuk bus listrik, dapat berkembang pesat di Indonesia.

DCVI berharap pemerintah dapat segera mencari solusi atas permasalahan bea masuk ini melalui negosiasi perdagangan bilateral dengan Uni Eropa atau dengan memberikan insentif fiskal lainnya untuk mengurangi biaya impor bus listrik. Hal ini penting untuk mendukung upaya Indonesia dalam transisi menuju sistem transportasi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dengan dukungan pemerintah dan kesiapan ekosistem, pasar bus listrik di Indonesia berpotensi untuk berkembang pesat di masa depan.

Langkah ke depan:

  • Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur pengisian daya (charging station) untuk mendukung adopsi bus listrik.
  • Negosiasi perdagangan bilateral dengan Uni Eropa perlu segera dilakukan untuk mengurangi bea masuk impor bus listrik.
  • Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal lainnya untuk menarik investasi dalam industri kendaraan listrik.
  • Peningkatan kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta sangat krusial untuk percepatan pengembangan ekosistem kendaraan listrik.