Transparansi Kunci Legitimasi Revisi UU TNI: Desakan Terbuka dan Partisipatif
Transparansi Kunci Legitimasi Revisi UU TNI: Desakan Terbuka dan Partisipatif
Proses revisi Undang-Undang TNI tengah menjadi sorotan tajam, khususnya terkait transparansi dan partisipasi publik dalam pembahasannya. Pengamat militer, Khairul Fahmi, menekankan urgensi keterbukaan dalam proses revisi ini sebagai kunci utama untuk memperoleh legitimasi publik yang kuat. Menurutnya, revisi UU TNI, yang bertujuan memperkuat pertahanan negara dalam koridor demokrasi, seharusnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, yaitu dengan menjunjung tinggi prinsip keterbukaan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.
Khairul mempertanyakan proses pembahasan yang dinilai kurang transparan, seperti rapat yang digelar di Hotel Fairmont akhir pekan lalu yang membatasi akses media. Meskipun Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengklaim rapat tersebut terbuka, nyatanya awak media dilarang memasuki ruang rapat dan hanya diperbolehkan menunggu di ruangan terpisah. Kejadian ini menimbulkan keraguan publik terhadap komitmen transparansi dalam proses revisi UU TNI. Minimnya akses informasi dan keterbatasan ruang diskusi publik menyebabkan berkembangnya asumsi dan kekhawatiran yang tidak berdasar di tengah masyarakat, termasuk kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI.
Lebih lanjut, Khairul menjelaskan bahwa meskipun revisi UU TNI akan tetap bergulir, bahkan jika dilakukan secara tertutup, legitimasi dan penerimaan publik terhadap RUU ini akan sangat berkurang. Oleh karena itu, ia mendesak DPR dan pemerintah untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas dan aktif menjelaskan substansi revisi UU TNI kepada publik. Hal ini penting untuk mencegah kesalahpahaman dan mengurangi kekhawatiran yang berpotensi menimbulkan polemik.
Revisi UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 ini mencakup beberapa poin penting, antara lain:
- Penambahan Usia Dinas: Penambahan usia dinas keprajuritan hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, sementara perwira hingga 60 tahun. Bahkan, ada kemungkinan perpanjangan hingga 65 tahun bagi prajurit dengan jabatan fungsional.
- Penempatan Prajurit Aktif: Perubahan aturan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga, mengingat meningkatnya kebutuhan penempatan prajurit TNI di sektor sipil.
Khairul menyoroti kurangnya komunikasi dan partisipasi publik yang lebih luas sebagai penyebab munculnya kritik dari masyarakat. Ia menilai wajar adanya kekhawatiran publik, mengingat informasi yang minim dan kurangnya kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembahasan RUU. Keterbukaan informasi dan dialog yang konstruktif antara pemerintah, DPR, dan masyarakat menjadi krusial untuk membangun kepercayaan dan memastikan revisi UU TNI berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kepentingan nasional.
Kesimpulannya, transparansi dan partisipasi publik merupakan elemen penting dalam proses revisi UU TNI. Ketiadaan transparansi akan berdampak pada menurunnya legitimasi dan penerimaan publik terhadap revisi UU tersebut, sehingga perlu adanya komitmen yang kuat dari pemerintah dan DPR untuk memastikan proses revisi berlangsung secara terbuka dan demokratis.