Koalisi Aktivis Tolak Revisi UU TNI, Serahkan Petisi ke DPR
Koalisi Aktivis Tolak Revisi UU TNI, Serahkan Petisi ke DPR
Sejumlah aktivis dan perwakilan organisasi masyarakat sipil menggelar aksi demonstrasi damai di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/3/2025), untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap revisi Undang-Undang (UU) TNI yang tengah dibahas. Aksi ini menandai eskalasi protes publik terhadap rencana perubahan UU tersebut. Para aktivis, yang mewakili beragam latar belakang dan organisasi, secara resmi menyerahkan petisi berisi tuntutan agar revisi UU TNI dibatalkan atau setidaknya direvisi secara substansial, dengan mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dan demokrasi.
Di antara tokoh-tokoh terkemuka yang hadir dalam aksi tersebut adalah Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid; peneliti Imparsial, Al Araf; dan perwakilan Transparency International Indonesia, Natalia Soebagyo. Mereka bergabung dengan sejumlah aktivis senior seperti Bedjo Untung, Sumarsih, dan Halida Hatta. Kehadiran figur-figur berpengaruh ini menggarisbawahi kekhawatiran luas di masyarakat sipil terhadap implikasi revisi UU TNI terhadap demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.
Penyerahan petisi diterima oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, di Ruang Banggar DPR. Setelahnya, Ketua Komisi I DPR dan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TNI, Utut Adianto, juga turut hadir. Proses penyerahan petisi dilakukan secara tertutup. Namun, ketegangan yang tercipta sebelumnya di Fairmont Hotel, Jakarta, pada Sabtu (15/3/2025), memberikan konteks penting terhadap demonstrasi ini. Insiden di Fairmont Hotel, di mana aktivis dari Kontras berusaha masuk ke ruang rapat Panja RUU TNI dan mengalami perlakuan represif, menunjukkan tingkat keprihatinan yang tinggi terhadap proses legislasi yang dianggap kurang transparan dan partisipatif.
Insiden di Fairmont Hotel melibatkan aktivis Andrie dari Kontras yang mengenakan baju hitam. Ia mencoba memasuki ruang rapat, tetapi dihalangi dan didorong oleh staf hingga terjatuh. Aksi Andrie yang didampingi oleh dua aktivis lain di depan pintu rapat yang tertutup, menyerukan penolakan terhadap pembahasan yang berlangsung tertutup dan menolak ‘dwifungsi ABRI’. Peristiwa ini semakin mempertegas kebutuhan akan keterbukaan dan transparansi dalam proses pembuatan kebijakan yang menyangkut keamanan negara dan hak asasi manusia.
Para aktivis menekankan bahwa revisi UU TNI harus melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat sipil dan mempertimbangkan masukan kritis dari berbagai pihak. Mereka berargumen bahwa revisi yang kurang hati-hati berpotensi melemahkan pengawasan sipil terhadap militer dan dapat mengancam hak asasi manusia. Aksi ini menjadi pengingat penting bagi pembuat kebijakan tentang pentingnya mendengarkan suara masyarakat dan memastikan revisi UU TNI sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.
Koalisi ini menegaskan kembali komitmen mereka untuk mengawasi proses revisi UU TNI dan akan terus memperjuangkan transparansi serta partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi ini. Mereka menyerukan agar DPR mendengarkan aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa revisi UU TNI tidak akan mengancam demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Perjuangan ini akan terus berlanjut hingga tercapainya solusi yang adil dan demokratis.