Pertamina Pacu Produksi Bioavtur dari Minyak Jelantah: Strategi Menuju Kemandirian Energi dan Pasar Global

Pertamina Pacu Produksi Bioavtur dari Minyak Jelantah: Strategi Menuju Kemandirian Energi dan Pasar Global

PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) tengah gencar mengembangkan produksi bioavtur berbahan baku minyak jelantah (used cooking oil/UCO) sebagai bagian dari komitmen Indonesia terhadap transisi energi yang berkelanjutan. Uji coba produksi di Kilang Cilacap saat ini memasuki tahap krusial, dengan target rampung pada Maret atau April 2025. Suksesnya uji coba ini akan membuka jalan bagi perluasan produksi ke kilang-kilang Pertamina lainnya, menandai langkah signifikan dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan membuka peluang ekonomi baru.

Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman, memaparkan bahwa keberhasilan proyek ini akan memungkinkan Indonesia untuk memasok bioavtur bagi penerbangan internasional yang telah menerapkan standar energi hijau. Beberapa negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia telah lebih dulu memberlakukan regulasi pemakaian minimal 1 persen bioavtur dalam penerbangan. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai calon pemasok utama bioavtur di kawasan Asia Tenggara, sebuah potensi ekonomi yang signifikan.

Kapasitas produksi bioavtur di Kilang Cilacap diproyeksikan mencapai 9.000 barel per hari, dengan 3 persen atau sekitar 270 barel per hari berasal dari minyak jelantah. Namun, tantangan utama terletak pada ketersediaan bahan baku. Ekspor minyak jelantah ke Singapura yang lebih menggiurkan secara ekonomi menjadi kendala utama. Untuk mengatasi hal ini, KPI mendorong pemerintah untuk menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) guna memastikan ketersediaan minyak jelantah untuk kebutuhan domestik.

KPI menyadari bahwa diversifikasi sumber bahan baku sangat penting. Selain minyak jelantah, Palm Oil Mill Effluent (POME) dan limbah sawit lainnya seperti cangkang sawit, juga berpotensi menjadi feedstock bioavtur. Namun, pemanfaatan cangkang sawit yang telah banyak digunakan untuk ekspor biomassa perlu diimbangi dengan kebijakan yang memperhatikan kebutuhan dalam negeri. Hal ini memerlukan perencanaan yang matang dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan.

Langkah selanjutnya yang tengah disiapkan KPI adalah perluasan produksi bioavtur ke Kilang Plaju dan Dumai. Kedua kilang ini dipilih karena lokasinya yang lebih dekat dengan sumber bahan baku, sehingga dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi. Investasi pengembangan bio refinery baru ini diperkirakan mencapai 600 hingga 800 juta dolar AS. KPI berencana menggandeng para kolektor minyak jelantah sebagai equity partner dan mitra dagang yang memiliki akses pasar internasional untuk memastikan keberhasilan proyek ini.

Pembangunan ekosistem yang terintegrasi, dari pengumpulan minyak jelantah hingga produksi dan distribusi bioavtur, merupakan kunci keberhasilan. Ekosistem ini akan memastikan rantai pasok yang efisien dan berkelanjutan. Dengan meningkatnya permintaan energi hijau global, pengembangan bioavtur di Indonesia tidak hanya berkontribusi pada pengurangan emisi karbon tetapi juga akan memperkuat ketahanan energi nasional dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional. Langkah ini menjadi bukti nyata komitmen Indonesia dalam transisi energi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing global.

Tantangan dan Peluang:

  • Ketersediaan Minyak Jelantah: Ekspor minyak jelantah menjadi tantangan utama. DMO diharapkan dapat mengatasi masalah ini.
  • Diversifikasi Feedstock: Pemanfaatan POME dan limbah sawit lainnya perlu dioptimalkan.
  • Investasi: Investasi besar diperlukan untuk pengembangan bio refinery.
  • Kolaborasi: Kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan sangat penting untuk keberhasilan proyek.
  • Potensi Pasar Global: Permintaan bioavtur global yang tinggi menawarkan peluang besar bagi Indonesia.