Revisi UU TNI Menuai Kontroversi: Polemik Dwifungsi dan Penempatan Prajurit di Lembaga Sipil
Revisi UU TNI Menuai Kontroversi: Polemik Dwifungsi dan Penempatan Prajurit di Lembaga Sipil
Rancangan revisi Undang-Undang TNI (Tentara Nasional Indonesia) tengah menjadi sorotan tajam publik dan menuai kontroversi. Pembahasan revisi UU ini, yang sempat dilakukan di Hotel Fairmont, Jakarta, diwarnai demonstrasi dan laporan polisi, menunjukkan adanya penolakan kuat dari berbagai kalangan. Kritikan utama tertuju pada proses yang dianggap tertutup dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat, serta kekhawatiran akan kembalinya praktik dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Perdebatan sengit ini berpusat pada pasal-pasal yang mengatur penempatan prajurit aktif TNI dalam lembaga sipil, serta perubahan aturan terkait usia pensiun.
Salah satu poin yang paling diperdebatkan adalah rencana penugasan prajurit aktif TNI dalam sejumlah lembaga sipil. Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menyatakan telah disepakati 16 lembaga yang dapat ditempati prajurit aktif. Daftar tersebut mencakup lembaga-lembaga penting di bidang politik, keamanan, pertahanan, dan hukum, diantaranya:
- Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
- Kementerian Pertahanan Negara
- Sekretariat Militer Presiden
- Badan Intelijen Negara
- Lembaga Sandi Negara
- Lembaga Ketahanan Nasional
- Dewan Pertahanan Nasional
- Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan
- Badan Narkotika Nasional
- Kementerian Kelautan dan Perikanan
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
- Badan Keamanan Laut
- Kejaksaan Agung
- Mahkamah Agung
- Badan Nasional Pengelola Perbatasan
Namun, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Tjahjo Kumolo, menyatakan bahwa penempatan prajurit aktif TNI di lembaga-lembaga sipil tersebut tidak akan memunculkan dwifungsi ABRI. Ia meminta publik untuk memahami substansi revisi UU TNI secara teliti dan tidak terjebak pada polemik yang tidak berdasar pada isi substansi revisi. Beliau menekankan bahwa revisi ini bertujuan untuk penguatan institusi TNI sebagai pilar penting kedaulatan dan keamanan negara.
Sementara itu, anggota Panja RUU TNI, TB Hasanuddin, juga menjelaskan revisi pasal terkait usia pensiun. Revisi ini menggolongkan usia pensiun berdasarkan pangkat, dengan usia pensiun maksimal 55 tahun untuk Tamtama dan Bintara, dan 58 tahun untuk Perwira Pertama hingga Kolonel. Perwira Tinggi (Pati) memiliki usia pensiun maksimal yang bervariasi, tergantung pangkatnya, dengan kemungkinan perpanjangan masa jabatan maksimal hingga 65 tahun untuk Panglima TNI, berdasarkan keputusan Presiden. Hal ini juga menimbulkan perdebatan karena dianggap berpotensi menimbulkan masalah lain dalam sistem perekrutan dan rotasi kepemimpinan di TNI.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, menjelaskan alasan rapat Panja digelar di Hotel Fairmont, menekankan bahwa hal tersebut telah sesuai prosedur dan atas izin pimpinan DPR. Namun, penjelasan ini tidak mampu meredakan kecaman dari berbagai elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil, termasuk YLBHI, Imparsial, dan Kontras. Koalisi ini menilai revisi UU TNI tidak memiliki urgensi dan justru berpotensi melemahkan profesionalisme TNI serta mendorong kembalinya praktik dwifungsi ABRI. Mereka mendesak agar revisi UU TNI dihentikan, dan lebih fokus pada revisi UU Peradilan Militer, yang lebih krusial dan mendesak.
Polemik revisi UU TNI ini menunjukkan perlunya transparansi dan partisipasi publik yang lebih luas dalam proses pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara. Perdebatan yang intens ini menuntut pertimbangan yang matang dan komprehensif dari semua pihak, demi memastikan revisi UU ini tidak berdampak negatif terhadap profesionalisme dan netralitas TNI.