Wacana Penjara Khusus Koruptor: Solusi Efektif atau Sekadar Gimmick Politik?
Wacana Penjara Khusus Koruptor: Solusi Efektif atau Sekadar Gimmick Politik?
Gagasan pembangunan penjara khusus bagi koruptor di lokasi terpencil, yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto, kembali memicu perdebatan publik. Usulan ini, yang bertujuan untuk mencegah pelarian narapidana dan bahkan mengancam mereka dengan bahaya alam seperti serangan hiu, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas dan kelayakannya. Apakah langkah ini merupakan solusi nyata dalam pemberantasan korupsi, atau hanya sekadar strategi politik yang kurang terencana?
Biaya pembangunan penjara berteknologi tinggi, seperti yang pernah disinggung Dirjen Pemasyarakatan pada tahun 2016, diperkirakan mencapai Rp 120 miliar. Angka ini sungguh fantastis, terlebih jika dikaitkan dengan kondisi anggaran negara saat ini. Program-program prioritas seperti pemberian makanan bergizi gratis saja masih mengalami kendala pendanaan. Oleh karena itu, alokasi dana yang signifikan untuk pembangunan penjara khusus ini patut dipertanyakan. Pengalaman Lapas Pasir Putih di Nusakambangan, dengan biaya operasional yang tinggi bahkan untuk memberi makan penjaga buaya, menjadi ilustrasi nyata tentang kompleksitas dan beban finansial yang akan dihadapi.
Ide ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, Kepala BNN, Komjen Budi Waseso, juga pernah mengusulkan pembangunan penjara khusus untuk jaringan mafia narkoba. Ironisnya, Indonesia telah memiliki fasilitas penjara khusus, yaitu Pulau Nusakambangan, yang dikenal sebagai 'Alcatraz-nya Indonesia'. Pulau ini telah digunakan untuk menampung para narapidana kasus-kasus berat, termasuk korupsi, seperti yang dialami oleh Bob Hasan dan Tommy Soeharto. Penggunaan kembali fasilitas yang ada mungkin lebih efisien daripada membangun fasilitas baru yang memerlukan biaya besar.
Meskipun lokasi yang terisolasi seperti Pulau Nusakambangan bisa dianggap efektif dalam mencegah pelarian, sejarah membuktikan bahwa tidak ada penjara yang benar-benar tak tertembus. Kasus pelarian narapidana dari Alcatraz dan Nusakambangan menunjukkan bahwa tekad dan kecerdikan para napi dapat mengatasi sistem keamanan yang ketat sekalipun. Oleh karena itu, fokus pemberantasan korupsi seharusnya tidak hanya pada aspek fisik penahanan, tetapi juga pada penegakan hukum yang lebih komprehensif dan efektif.
Selain itu, para ahli telah lama menyoroti pentingnya hukuman yang berdampak secara finansial bagi para koruptor. Sanksi berupa ganti rugi kerugian negara yang melebihi jumlah yang dikorupsi, dan bahkan diwariskan kepada ahli waris, dipercaya lebih efektif untuk memberikan efek jera. Implementasi asas pembuktian terbalik dan percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset juga penting untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Sayangnya, pemerintah justru memprioritaskan revisi UU TNI, yang menimbulkan kecurigaan bahwa komitmen dalam pemberantasan korupsi hanya sebatas gimmick politik.
Kerja sama yang solid antara eksekutif dan yudikatif juga krusial. Kualitas vonis hakim dan integritas lembaga peradilan perlu ditingkatkan untuk memastikan keadilan ditegakkan. Tanpa dukungan lembaga peradilan yang kuat dan independen, upaya pemberantasan korupsi, termasuk pembangunan penjara khusus, akan tetap menjadi sia-sia. Pembangunan penjara khusus, tanpa disertai reformasi hukum yang menyeluruh dan penegakan hukum yang konsisten, hanya akan menjadi solusi parsial yang tidak menyelesaikan akar masalah korupsi di Indonesia.