Revisi UU TNI: Antara Profesionalisme Militer dan Supremasi Sipil
Revisi UU TNI: Antara Profesionalisme Militer dan Supremasi Sipil
Debat publik seputar revisi Undang-Undang TNI menunjukkan adanya polarisasi pandangan yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, terdapat kelompok masyarakat sipil yang menolak perluasan peran militer dalam kehidupan sipil, mengingat trauma masa Orde Baru. Di sisi lain, pihak militer tampak menginginkan peran yang lebih luas, memunculkan kekhawatiran akan kebangkitan dwifungsi ABRI. Perbedaan fundamental ini berakar pada pemahaman yang berbeda, sekaligus usang, tentang hubungan sipil-militer.
Perdebatan ini terbelah menjadi dua perspektif utama. Pertama, kelompok yang berpegang pada pemikiran Jenderal A.H. Nasution, cenderung melihat keterlibatan militer dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang lumrah. Namun, kelompok ini mengabaikan prinsip supremasi sipil yang menjadi pondasi pembangunan nasional. Meskipun TNI tetap berperan penting dalam pembangunan, perannya harus tetap terfokus pada tugas pokok dan fungsi utamanya di bidang pertahanan negara. Keterlibatan dalam sektor non-pertahanan hanya dibenarkan jika diminta oleh otoritas sipil dan berada di bawah kendali sipil, mengingat keterbatasan kemampuan dan keahlian militer di luar bidang pertahanan. Contohnya, pengelolaan sumber daya kelautan lebih tepat dilakukan oleh para nelayan yang ahli di bidangnya, bukan oleh militer.
Kedua, kelompok yang terpengaruh oleh pemikiran Samuel Huntington, memandang militer sebagai entitas profesional yang terpisah dari urusan sipil. Namun, mereka menutup mata terhadap kenyataan bahwa pengaruh militer dalam kehidupan masyarakat sipil tetap signifikan, bahkan meningkat setelah Reformasi. Mereka mengabaikan tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap TNI, serta mengabaikan perkembangan di negara-negara demokrasi lain yang telah meninggalkan pendekatan hitam putih dalam hubungan sipil-militer. Kurangnya kontrol sipil di beberapa kementerian yang berkaitan dengan militer, seperti yang terjadi di Kementerian Pertahanan India, menunjukkan perlunya sinergi dan bukan pemisahan yang kaku. Contohnya, keterlibatan aktif militer dalam pengadaan alutsista justru dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Menarik militer sepenuhnya ke barak justru dapat kontraproduktif dengan tujuan peningkatan profesionalisme itu sendiri. Di Amerika Serikat, model profesionalisme ala Huntington malah menciptakan paradoks: anggota aktif militer lebih terlibat dalam politik praktis dan rentan terhadap politisasi.
Di Indonesia, paradoks ini terlihat pada peran aktif purnawirawan militer dalam politik, serta adopsi kaderisasi semi-militer oleh partai politik. Ini menunjukkan bahwa pemisahan tegas antara militer dan politik sulit diterapkan. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang lebih seimbang dan realistis, mengakui peran TNI dalam kehidupan nasional tanpa mengorbankan supremasi sipil.
Objektivitas dan Solusi:
Keterlibatan militer dalam kehidupan sipil memang tak terhindarkan, namun harus ada batasan yang jelas. Revisi UU TNI harus menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali peran TNI, khususnya di sektor non-pertahanan. Keterlibatan TNI dalam penanggulangan ancaman non-tradisional seperti bencana alam, terorisme, dan kejahatan siber dapat diterima, asalkan berada di bawah kendali sipil dan dengan koordinasi yang jelas dengan instansi terkait seperti Polri. Namun, peran TNI di lembaga seperti Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, atau Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu dikaji ulang secara kritis. Tidak ada justifikasi yang kuat untuk hal tersebut, dan justru berpotensi menimbulkan masalah. Sektor ekonomi lebih baik diserahkan kepada profesional sipil.
Dampak dan Kesimpulan:
Memaksakan peran militer di posisi-posisi kontroversial dapat merusak kepercayaan publik terhadap TNI, menghambat investasi asing, dan melemahkan demokrasi. Revisi UU TNI harus memperjelas, bukan mengaburkan peran militer. Dialog konstruktif antara masyarakat sipil dan sektor keamanan sangat penting untuk mencapai solusi yang komprehensif dan menghindari potensi konflik. Kegagalan berdialog hanya akan menciptakan ketidakstabilan dan membuka kembali luka masa lalu.