Produksi Megah, Namun Hasil Mengecewakan: Ulasan Film Netflix 'The Electric State'

Produksi Megah, Namun Hasil Mengecewakan: Ulasan Film Netflix 'The Electric State'

'The Electric State', film fiksi ilmiah Netflix besutan Russo Brothers dengan bujet fantastis mencapai 320 juta dolar AS, menawarkan visual yang memukau secara teknis. Namun, di balik kemegahan produksi yang menyaingi bahkan 'Dune: Part Two', tersimpan sebuah narasi yang lemah dan eksekusi yang jauh dari memuaskan. Film ini, yang dibintangi Millie Bobby Brown sebagai Michelle, seorang gadis yang hidup di dunia pasca-apokaliptik yang dilanda perang antara manusia dan robot, gagal menghadirkan kisah yang berkesan dan bernyawa.

Cerita dimulai dengan Michelle yang harus menghadapi kehilangan orang tua dan adiknya. Kehadiran robot yang mengaku sebagai adiknya, Christopher (Woody Norman), memicu petualangannya untuk menyelamatkan adiknya dari cengkeraman ilmuwan jahat, Ethan Skate (Stanley Tucci). Perjalanan ini ditemani oleh Keats (Chris Pratt), seorang karakter yang terlihat sebagai upaya untuk meniru pesona karakter khas Steven Spielberg, namun hasilnya justru terasa klise dan dipaksakan. Integrasi unsur tahun 90-an dengan elemen futuristik terasa asal-asalan dan tidak terintegrasi dengan baik, seperti penempatan lagu Oasis yang terasa janggal dan tanpa makna.

Salah satu kelemahan terbesar film ini terletak pada pengembangan karakter dan alur cerita yang dangkal. Michelle dan Keats digambarkan sebagai karikatur karakter pemberontak dan jenaka, namun lelucon yang dihadirkan terasa hambar dan gagal menghadirkan humor yang efektif. Chemistry antara Brown dan Pratt pun terasa kurang, dengan interaksi mereka yang tampak dipaksakan. Ironisnya, keduanya malah memiliki chemistry yang lebih baik dengan karakter robot ketimbang satu sama lain. Meskipun secara visual film ini cukup menarik, ritme penyutradaraan yang terburu-buru dan editing yang terkesan asal-asalan justru menghambat perkembangan emosi penonton. Adegan demi adegan terasa terputus-putus, dan emosi yang seharusnya dibangun gagal tersampaikan dengan baik.

Dengan bujet sebesar itu, 'The Electric State' seharusnya mampu menghadirkan pengalaman sinematik yang lebih memuaskan. Namun, film ini justru terasa seperti sebuah karya yang terburu-buru dan kurang tergarap dengan matang. Kegagalan dalam membangun alur cerita yang solid, pengembangan karakter yang dangkal, dan humor yang lemah menjadikan film ini jauh dari ekspektasi yang dibangun oleh bujet produksinya yang fantastis. Skor 14% di Rotten Tomatoes menjadi bukti nyata atas kekecewaan kritikus terhadap film ini. Meskipun secara teknis film ini tidak buruk, namun kurangnya kedalaman emosi dan cerita yang memikat membuat 'The Electric State' hanya layak untuk ditonton bagi penikmat film yang memiliki waktu luang dan toleransi tinggi terhadap film-film yang kurang memuaskan. Film ini, pada akhirnya, menjadi sebuah studi kasus tentang bagaimana bujet yang besar tidak selalu menjamin kualitas sebuah film.

Kelemahan Utama: * Alur cerita yang lemah dan dangkal. * Pengembangan karakter yang klise dan kurang bernyawa. * Humor yang hambar dan gagal. * Chemistry antar aktor yang kurang. * Editing yang terburu-buru dan kurang efektif. * Integrasi unsur tahun 90-an dan futuristik yang asal-asalan.

Keunggulan (yang minim): * Visual yang secara teknis cukup baik (walau terkesan biasa saja mengingat bujetnya).