RUU TNI: Istana Bantah Pasal yang Kembalikan Dwifungsi Militer, Tegaskan Revisi Hanya Perbaiki Tiga Pasal Krusial
RUU TNI: Klarifikasi Istana Terkait Tuduhan Kembalinya Dwifungsi ABRI
Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, dengan tegas membantah tudingan dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI berpotensi mengembalikan doktrin dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Nasbi menyatakan bahwa setelah dilakukan penelusuran menyeluruh, tidak ditemukan pasal maupun ayat dalam RUU tersebut yang mendukung klaim tersebut. Pernyataan ini disampaikan Nasbi dalam jumpa pers di Jakarta Pusat pada Senin, 17 Maret 2025. Ia menekankan bahwa kekhawatiran yang diutarakan LSM tersebut sama sekali tidak berdasar.
"Setelah kami teliti dengan saksama, terbukti tidak ada pasal atau ayat yang mengarah pada pemulihan dwifungsi ABRI dalam RUU TNI. Oleh karena itu, kecurigaan yang diungkapkan oleh LSM dinilai tidak beralasan," tegas Nasbi. Justru sebaliknya, RUU TNI ini bertujuan untuk lebih membatasi penugasan prajurit aktif TNI dalam jabatan sipil. Pembatasan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa penugasan tersebut hanya dilakukan pada posisi yang benar-benar membutuhkan keahlian dan pengalaman khusus dari kalangan militer, dan bukan semata-mata penempatan personel tanpa pertimbangan yang matang.
Fokus Perbaikan RUU TNI: Batasan Jabatan dan Kejelasan Penugasan
RUU TNI, menurut Nasbi, akan lebih spesifik mengatur 16 jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Jumlah ini memang lebih banyak dibandingkan dengan 10 jabatan yang diatur dalam UU TNI yang berlaku saat ini. Namun, penambahan ini bukan berarti perluasan peran TNI di sektor sipil, melainkan lebih kepada penertiban dan penerangan terhadap posisi-posisi yang selama ini sudah dijalankan. Keenam jabatan tambahan tersebut antara lain terdapat di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), keamanan laut, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Beberapa posisi tersebut, seperti jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil), sebelumnya belum tercantum dalam undang-undang, namun telah dijalankan dalam praktik. Dengan adanya RUU ini, aturan tersebut akan lebih terstruktur dan terdokumentasi dengan baik. Nasbi menambahkan bahwa beberapa posisi lainnya seperti di Bakamla dan Dewan Pertahanan Nasional juga sebelumnya belum diatur, namun kehadiran prajurit TNI di posisi-posisi tersebut dirasa penting karena keahlian yang dibutuhkan.
Menanggapi Kritik dan Mengklarifikasi Isi Revisi
Sebelumnya, revisi UU TNI telah menuai kritikan dari beberapa LSM karena kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI. Menanggapi hal ini, Menko Polkam Budi Gunawan menjelaskan bahwa revisi UU TNI hanya berfokus pada tiga pasal krusial. Ketiga pasal tersebut adalah:
- Pasal 3 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang kedudukan dan koordinasi TNI di bawah Kementerian Pertahanan.
- Pasal 53 yang mengatur tentang usia pensiun TNI.
- Pasal 47 yang mengatur tentang jabatan di kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif.
Budi Gunawan menekankan bahwa revisi ini bertujuan untuk memberikan batasan yang lebih jelas terkait penugasan TNI di kementerian dan lembaga pemerintahan, bukan untuk memperluas peran militer di luar bidang pertahanan dan keamanan. Revisi ini juga akan mengatur dengan lebih rinci tentang penugasan TNI di 16 kementerian/lembaga, dari yang sebelumnya hanya 10.
Kesimpulannya, baik Istana maupun Menko Polkam menegaskan bahwa RUU TNI tidak akan mengembalikan dwifungsi ABRI, melainkan berfokus pada perbaikan regulasi untuk penugasan TNI di sektor sipil agar lebih terarah dan transparan. Klaim yang menyatakan sebaliknya dianggap tidak berdasar.