Krisis Ekologis Menuntut Perubahan Paradigma Hukum: Antroposentrisme vs. Inklusivitas Ekosistem

Krisis Ekologis Menuntut Perubahan Paradigma Hukum: Antroposentrisme vs. Inklusivitas Ekosistem

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyerukan revolusi paradigma hukum untuk mengatasi krisis ekologis global yang semakin mengkhawatirkan. CEO IOJI, Mas Achmad Santosa, dalam diskusi "Nilai dan Praktik Hukum Adat untuk Penyelamatan Ekosistem dan Kedaulatan Pangan" di Jakarta, Senin (17/3/2025), menekankan inefektivitas sistem hukum lingkungan dan sumber daya alam yang ada saat ini dalam menghadapi tantangan era Anthropocene.

Santosa menyatakan bahwa paradigma hukum yang berpusat pada manusia (antropocentrisme) telah gagal melindungi ekosistem. Sistem hukum tersebut menempatkan manusia sebagai satu-satunya subjek hukum, menjadikan alam semata-mata sebagai objek yang dapat dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini telah mengakibatkan kerusakan ekosistem yang massif, melampaui batas-batas kritis planet yang telah diidentifikasi para ilmuwan.

Ia menjelaskan, "Paradigma hukum yang berlaku saat ini terbukti tidak efektif dalam merespons krisis ekologis. Sistem yang human-centered mengabaikan hak-hak intrinsik makhluk hidup lain, termasuk flora, fauna, dan ekosistem secara keseluruhan. Alam direduksi menjadi komoditas yang dapat dieksploitasi tanpa batas." Oleh karena itu, IOJI mendorong pergeseran paradigma menuju pendekatan yang lebih inklusif, yang mengakui hak-hak ekosistem dan makhluk hidup lainnya sebagai subjek hukum, bukan hanya sebagai objek.

Studi ilmiah menunjukkan bahwa bumi telah melewati enam dari sembilan batas planet kritis, termasuk perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, perubahan siklus nitrogen dan fosfor, alih fungsi lahan, polusi kimia, dan perubahan air tawar. Satu batas planet lainnya, yaitu pengasaman laut, juga semakin mendekati titik kritis. Kondisi ini, menurut Santosa, menuntut perubahan mendasar dalam pendekatan hukum terhadap lingkungan.

Perubahan yang diusulkan bukan hanya sekadar revisi aturan, tetapi transformasi mendasar dalam cara pandang terhadap hubungan manusia dan alam. Sistem hukum baru harus mampu:

  • Mengakui hak-hak ekosistem dan makhluk hidup lainnya sebagai subjek hukum.
  • Menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan lingkungan.
  • Menerapkan pendekatan pencegahan dan pemulihan yang efektif.
  • Memperhitungkan batas-batas planet dalam pengambilan keputusan.
  • Melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.

Santosa menegaskan perlunya hukum yang mampu merespons krisis ekologis secara efektif dan holistik, bukan hanya melindungi kepentingan manusia semata, tetapi juga memastikan kelangsungan hidup planet dan keseimbangan ekosistem untuk generasi mendatang. Reformasi hukum yang adaptif dan komprehensif adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi manusia dan alam.

Kesimpulannya, pergeseran paradigma hukum dari antropocentrisme ke pendekatan inklusif yang mengakui hak-hak ekosistem adalah langkah krusial untuk mengatasi krisis ekologis global dan membangun masa depan yang berkelanjutan. Langkah ini memerlukan kolaborasi antar pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan masyarakat umum.