Penutupan Voice of America: Sebuah Pukulan Keras bagi Kebebasan Pers dan Informasi Global

Penutupan Voice of America: Sebuah Pukulan Keras bagi Kebebasan Pers dan Informasi Global

Penutupan mendadak Voice of America (VOA), lembaga penyiaran internasional Amerika Serikat, telah menimbulkan gelombang kejut di seluruh dunia. Keputusan kontroversial ini, yang diumumkan pada Minggu, 16 Maret 2025, menyusul penandatanganan perintah eksekutif oleh Presiden Donald Trump beberapa hari sebelumnya, menandai berakhirnya lebih dari delapan dekade layanan informasi bagi jutaan pendengar di berbagai negara, khususnya mereka yang hidup di bawah rezim otoriter. Pemberhentian operasional VOA secara tiba-tiba ini telah menyebabkan ratusan jurnalis, eksekutif, dan staf lainnya kehilangan akses ke sistem kerja mereka, meninggalkan kekosongan informasi yang signifikan dalam lanskap media global.

Sejak pengumuman tersebut, dampaknya langsung terasa. Banyak frekuensi radio VOA di Asia, Timur Tengah, dan wilayah lainnya terhenti atau hanya menyiarkan musik, sementara akses email kantor dan platform komunikasi internal terputus. Meskipun beberapa stasiun afiliasi masih beroperasi, mereka kini kehilangan dukungan finansial dan konten dari AS, yang mendorong beberapa di antaranya untuk menayangkan konten dari media pemerintah Rusia dan China—negara-negara yang selama ini menjadi lawan utama VOA. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang penyebaran disinformasi dan hilangnya suara independen dalam wilayah-wilayah tersebut. David Z Seide, pengacara dari Government Accountability Project yang mewakili beberapa jurnalis VOA, mengkonfirmasi penghentian operasional dan menyatakan sedang mempertimbangkan langkah hukum untuk mengembalikan para jurnalis ke posisi mereka. Asosiasi American Foreign Service juga menyatakan akan memperjuangkan hak-hak para pegawai VOA.

Upaya Pelemahan Media dan Independensi Jurnalistik

Langkah kontroversial Presiden Trump ini dinilai sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk melemahkan media berita dan membungkam kritik. Sebelumnya, Gedung Putih telah melarang kantor berita The Associated Press meliput beberapa acara resmi karena perbedaan pendapat mengenai penyebutan Teluk Meksiko. Serangkaian gugatan terhadap media besar juga telah diajukan oleh Trump dan sekutunya, dengan rencana untuk mengajukan lebih banyak tuntutan hukum di masa mendatang. Penutupan VOA tampak sebagai puncak dari upaya sistematis untuk mengendalikan narasi dan membatasi akses publik terhadap informasi yang beragam dan independen.

VOA, yang didirikan pada tahun 1942 sebagai bagian dari upaya melawan propaganda Nazi selama Perang Dunia II, telah lama menjadi sumber informasi penting bagi masyarakat di balik Tirai Besi selama Perang Dingin. Hingga beberapa waktu lalu, VOA masih menyiarkan berita dalam puluhan bahasa dan menjangkau ratusan juta pendengar di negara-negara dengan kontrol media yang ketat seperti China dan Iran. Meskipun secara hukum VOA memiliki independensi editorial yang terlindungi dari intervensi pemerintah, Trump telah berulang kali mengecam VOA karena dianggap memiliki bias liberal. Penunjukan Kari Lake, mantan pembawa berita TV berhaluan kanan, untuk memimpin VOA, serta larangan bagi jurnalis VOA untuk mengkritik Trump sebelum Lake resmi menjabat, semakin memperkuat dugaan upaya pemerintah untuk mengendalikan lembaga tersebut.

Pernyataan Gedung Putih yang menyebut VOA sebagai penyebar “propaganda radikal” dan menuding para pegawainya memiliki bias politik yang kuat semakin memperkuat pandangan bahwa penutupan ini adalah upaya untuk membungkam suara-suara yang dianggap kritis terhadap pemerintahan. Steven Herman, seorang koresponden senior VOA, menggambarkan penutupan ini sebagai “meredupkannya sebuah mercusuar yang telah bersinar terang selama beberapa periode tergelap sejak 1942,” sebuah metafora yang menyoroti dampak signifikan dari keputusan ini terhadap akses global terhadap informasi dan kebebasan pers.

Implikasi Global yang Jauh Menjangkau

Penutupan VOA memiliki implikasi global yang jauh menjangkau. Hilangnya sumber informasi independen yang kredibel akan berdampak negatif pada akses publik terhadap informasi yang akurat dan obyektif, terutama di negara-negara yang membatasi kebebasan pers. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan penyebaran disinformasi dan propaganda, serta melemahnya kemampuan masyarakat sipil untuk mengakses berita dan informasi yang akurat. Langkah ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen Amerika Serikat terhadap kebebasan pers dan perannya dalam mempromosikan demokrasi dan transparansi di seluruh dunia. Masa depan informasi global kini berada dalam posisi yang sangat rawan.