Potensi dan Tantangan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan di Indonesia

Potensi dan Tantangan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan di Indonesia

Indonesia tengah berupaya mengembangkan perdagangan karbon, khususnya dari sektor kehutanan, sebagai strategi mitigasi perubahan iklim dan pendorong ekonomi hijau. Potensi ekonomi yang diproyeksikan memang sangat besar, mencapai triliunan rupiah per tahun jika dioptimalkan. Namun, realisasi perdagangan karbon hingga saat ini masih jauh dari angka ideal, mengungkapkan sejumlah tantangan yang perlu segera diatasi. Pemerintah telah merancang tiga skema perdagangan karbon: cap and trade, pembayaran berbasis kinerja (RBP), dan carbon offset dari sektor kehutanan. Skema pertama, yang telah berjalan melalui bursa karbon sejak 2023, menunjukkan hasil yang kurang memuaskan dengan likuiditas pasar yang rendah. Volume dan nilai transaksi karbon justru mengalami penurunan di tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.

Skema kedua, RBP yang dijalankan melalui kerjasama dengan Norwegia, masih dalam tahap evaluasi. Sementara itu, skema ketiga, yang difokuskan pada perdagangan karbon dari sektor kehutanan, diproyeksikan akan diluncurkan pada tahun 2025 oleh Kementerian Kehutanan. Proyeksi ini cukup ambisius, dengan target transaksi mencapai Rp 1,6 triliun hingga Rp 3,2 triliun pada tahun pertama, dan berpotensi mencapai Rp 97,9 triliun hingga Rp 258,7 triliun per tahun pada 2034. Selain nilai ekonomi yang signifikan, skema ini juga diprediksi akan menciptakan lebih dari 170.000 lapangan kerja. Namun, realisasi angka-angka tersebut bergantung pada sejumlah faktor, termasuk penyelesaian Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan standar internasional, revisi peraturan presiden terkait nilai ekonomi karbon (NEK), dan tentunya keberhasilan dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Analisis Kritis dan Perbandingan Data

Perkiraan potensi ekonomi perdagangan karbon dari sektor kehutanan beragam. Menteri Kehutanan memproyeksikan angka yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya dari pihak-pihak lain, termasuk Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi yang menyebut potensi mencapai 82 miliar hingga 100 miliar dollar AS. Perbedaan angka ini menimbulkan pertanyaan akan metodologi perhitungan yang digunakan dan perlu dilakukan kajian lebih mendalam untuk mendapatkan perkiraan yang akurat dan realistis. Perlu juga perbandingan dengan negara-negara lain yang memiliki potensi karbon kredit besar dari sektor kehutanan, seperti Rusia, Brasil, Kanada, Amerika Serikat, dan China, untuk memahami strategi dan tantangan yang mereka hadapi.

Masalah Utama dan Solusi yang Dibutuhkan

Salah satu kendala utama adalah harga karbon yang dinilai terlalu rendah. Harga karbon di Indonesia saat ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga di negara-negara lain, bahkan dibandingkan dengan perkiraan ideal yang diajukan oleh lembaga internasional seperti IMF. Harga karbon yang rendah tentu tidak menguntungkan bagi Indonesia dan menghambat daya saing di pasar internasional. Selain itu, regulasi perdagangan karbon juga perlu diperbaiki dan diperjelas, khususnya terkait dengan izin usaha, metodologi penghitungan emisi, dan mekanisme pengawasan untuk mencegah praktik ilegal. Permasalahan lain muncul dari perbedaan regulasi yang dapat menyebabkan ketidakjelasan status usaha restorasi ekosistem dalam konteks perdagangan karbon. Regulasi yang tumpang tindih, terutama pasca berlakunya UU Cipta Kerja, perlu segera diselesaikan agar tidak menimbulkan konflik dan kerugian bagi para pelaku usaha.

Kesimpulan

Perdagangan karbon sektor kehutanan di Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, namun dihadapkan pada sejumlah tantangan signifikan. Untuk merealisasikan potensi tersebut, pemerintah perlu memperbaiki regulasi, meningkatkan transparansi, menetapkan harga karbon yang kompetitif, dan meningkatkan kerjasama internasional. Kajian mendalam, transparansi data, dan evaluasi yang komprehensif diperlukan untuk memastikan keberhasilan dan keberlanjutan program perdagangan karbon sektor kehutanan di Indonesia, serta mencegah potensi kerugian negara dan dampak negatif lingkungan.