Revisi UU TNI Menuai Kritik: Koalisi Sipil Tolak Kembalinya Dwifungsi Militer
Revisi UU TNI Menuai Kritik: Koalisi Sipil Tolak Kembalinya Dwifungsi Militer
Koalisi masyarakat sipil menyatakan penolakan keras terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tengah dibahas DPR. Mereka menilai revisi tersebut berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan melemahkan profesionalisme militer. Hal ini disampaikan dalam sebuah petisi yang dibacakan oleh Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Senin (17/3/2025).
Sulistyowati menegaskan bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara, semestinya difokuskan pada tugas pokoknya, yakni menjaga kedaulatan dan keamanan negara. “TNI dilatih, dididik, dan disiapkan untuk perang, bukan untuk menduduki jabatan-jabatan sipil,” tegasnya. Ia menekankan bahwa menempatkan prajurit aktif dalam jabatan sipil dapat mengaburkan garis antara peran militer dan sipil, serta berpotensi memicu kembalinya praktik dwifungsi TNI yang telah lama ditinggalkan.
Kekhawatiran koalisi ini muncul setelah pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU TNI kepada DPR pada 11 Maret 2025. DIM tersebut, menurut Sulistyowati, mengandung pasal-pasal yang dinilai berpotensi membuka kembali pintu bagi dwifungsi TNI. “Agenda revisi UU TNI ini tidak menunjukkan urgensi transformasi TNI menuju profesionalisme. Justru, revisi ini berpotensi melemahkan profesionalisme militer yang telah susah payah dibangun,” tambahnya.
Lebih lanjut, Sulistyowati menyoroti beberapa poin penting dalam revisi UU TNI yang menjadi perhatian koalisi sipil. Perpanjangan masa dinas hingga usia 58 tahun bagi bintara dan tamtama, serta hingga 60 tahun bagi perwira, serta potensi perpanjangan hingga 65 tahun untuk prajurit di jabatan fungsional, dinilai perlu dikaji lebih mendalam. Koalisi mengkhawatirkan perpanjangan masa dinas ini akan mengakibatkan pembengkakan anggaran dan kurang efisiensi sumber daya manusia.
Selain itu, rencana perluasan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga juga menjadi sorotan. Koalisi menilai perlu adanya kajian yang komprehensif dan transparan mengenai kebutuhan sebenarnya penempatan prajurit aktif di instansi sipil. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan potensi konflik kepentingan.
Rapat Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang digelar di Fairmont Jakarta pada 14-15 Maret 2025, membahas DIM tersebut, termasuk diskusi mengenai usia pensiun dengan memperhitungkan pangkat terakhir prajurit. Anggota Komisi I DPR Fraksi PDI-P, TB Hasanuddin, menyatakan bahwa pembahasan difokuskan pada poin-poin tersebut. Namun, hingga kini belum ada penjelasan rinci dari pemerintah maupun DPR mengenai bagaimana kekhawatiran koalisi masyarakat sipil tersebut akan ditanggapi.
Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR untuk mempertimbangkan secara matang dampak jangka panjang dari revisi UU TNI ini. Mereka menekankan pentingnya menjaga profesionalisme TNI dan mencegah kembalinya praktik dwifungsi yang berpotensi mengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional. Proses revisi UU TNI harus transparan dan melibatkan partisipasi publik secara luas untuk memastikan revisi ini benar-benar untuk kepentingan negara dan rakyat Indonesia.