Identitas Kepemimpinan: Jalan Menuju Partisipasi Warga atau Sekadar Retorika?
Identitas Kepemimpinan: Jalan Menuju Partisipasi Warga atau Sekadar Retorika?
Seruan John F. Kennedy, "Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu," meski inspiratif, menemui tantangan besar di era modern. Kesenjangan ekonomi yang melebar dan erosi kepercayaan sosial telah melemahkan daya tarik ajakan tersebut. Bagaimana seseorang dapat berkontribusi jika merasa terpinggirkan oleh sistem yang timpang? Pertanyaan kunci yang muncul adalah: apakah kepemimpinan politik masih mampu membangun rasa kebersamaan di tengah masyarakat yang terfragmentasi?
Konsep identity leadership, atau kepemimpinan berbasis identitas, menawarkan satu pendekatan. Kepemimpinan efektif tidak hanya sekadar pengambilan kebijakan, tetapi juga kemampuan membangun dan memperkuat identitas kolektif. Dengan menumbuhkan kesadaran akan kesatuan yang lebih besar, pemimpin dapat mendorong partisipasi warga. Namun, penerapannya di dunia nyata menghadapi tantangan serius, terutama di negara-negara dengan ketimpangan ekonomi dan sosial yang akut. Narasi persatuan sering kali hanya menjadi retorika belaka, meninggalkan warga merasa teralienasi dan semakin jauh dari sistem politik. Akibatnya, relevansi identity leadership dipertanyakan; apakah ia solusi nyata atau hanya kamuflase atas ketidakadilan struktural?
Narasi Inklusif dan Tantangannya
Secara teoritis, identity leadership berakar pada teori identitas sosial Tajfel dan Turner. Individu tidak hanya mendefinisikan dirinya sendiri, tetapi juga sebagai bagian dari kelompok sosial. Pemimpin yang sukses mampu menciptakan rasa "kita" di antara rakyatnya, mencerminkan nilai-nilai kelompok dan menumbuhkan kesadaran kolektif di atas perbedaan individual dan kepentingan sektoral. Nelson Mandela di Afrika Selatan menjadi contoh ikonik. Kepemimpinannya yang menekankan rekonsiliasi berhasil membangun narasi inklusif yang mengakomodasi berbagai kelompok etnis, mengganti identitas nasional berbasis ras atau kelas dengan komitmen bersama untuk membangun negara yang lebih adil.
Sebaliknya, penggunaan identity leadership secara eksklusif untuk memperkuat loyalitas kelompok tertentu dapat berdampak destruktif. Pemimpin populis sering memanfaatkan retorika persatuan untuk mengokohkan kekuasaan, bukan untuk membangun inklusivitas sejati. Narasi "kami" versus "mereka" justru meningkatkan polarisasi dan konflik sosial, bukan keterlibatan warga yang sehat.
Faktor Ekonomi dan Manipulasi Narasi
Identity leadership tidak bekerja dalam ruang hampa. Ketimpangan ekonomi berperan besar dalam keberhasilan atau kegagalannya. Ketimpangan tinggi merusak kepercayaan sosial, melemahkan efektivitas identity leadership dalam mendorong partisipasi. Penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara dengan ketimpangan tinggi, masyarakat cenderung individualistis dan kurang percaya satu sama lain. Sumber daya yang terkonsentrasi di tangan elit membuat masyarakat merasa sistem tidak melayani kepentingan mereka, sehingga seruan pemimpin untuk persatuan terdengar hampa. Brasil, dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi, menjadi contoh kasus di mana partisipasi warga sering dilandasi frustrasi, bukan keterlibatan tulus, berbeda dengan negara-negara Skandinavia yang memiliki tingkat ketimpangan rendah dan kepercayaan sosial tinggi.
Lebih jauh, terdapat bahaya manipulasi narasi. Pemimpin politik sering menggunakan narasi kebersamaan untuk mengalihkan perhatian dari masalah mendasar. Di negara-negara dengan ketimpangan tinggi, nasionalisme sering digunakan untuk menutupi kegagalan mengatasi masalah ekonomi dan sosial. Ketika rakyat menuntut keadilan ekonomi, mereka dihadapkan pada narasi bahwa "persatuan lebih penting daripada mengeluh," membungkam kritik terhadap sistem yang tidak adil.
Komitmen Nyata dan Jalan ke Depan
Kepemimpinan efektif tidak hanya membangun rasa "kita", tetapi juga memastikan setiap individu merasa menjadi bagian dari "kita" tersebut. Tanpa kebijakan nyata untuk mengurangi ketimpangan dan memperkuat kepercayaan sosial, identity leadership hanya akan menjadi retorika kosong. Tantangan besar kini adalah mempertahankan keterlibatan warga. Pertanyaan krusialnya adalah: mampukah pemimpin kita menghadapi tantangan ini dengan kejujuran dan komitmen nyata? Ataukah identity leadership hanya akan menjadi selubung ketidakadilan yang semakin mendalam? Jawabannya tidak hanya terletak pada pemimpin, tetapi juga pada rakyat, apakah kita akan menerima narasi yang diberikan atau menuntut kepemimpinan yang lebih adil dan autentik?